Zikir Seekor cacing
dalam duniamu aku cacing tak bermakna
yang melata dari lumpur ke lumpur
peradaban tanpa jiwa, yang menggeliat
di selokan-selokan kumuh kota, yang
bahagia ketika pohon-pohon berbunga
cobalah kaudengar zikirku, menetes
jadi madu di pucuk-pucuk akar pohon itu
kucangkul tanah keras jadi gembur
kurabuk ladang tanpa hara jadi subur
kubimbing akar-akar pohonan
menyusup sela-sela batu dan belukar
menghisap sari madu kehidupan
sedang aku cukup tumbuh
dari daun-daun gugur
dalam duniamu aku cacing tak bermakna
yang melata dari lumpur ke lumpur
peradaban tanpa jiwa, yang menggeliat
di selokan-selokan kumuh kota, yang
bahagia ketika pohon-pohon berbunga
cobalah kaudengar zikirku, menetes
jadi madu di pucuk-pucuk akar pohon itu
kucangkul tanah keras jadi gembur
kurabuk ladang tanpa hara jadi subur
kubimbing akar-akar pohonan
menyusup sela-sela batu dan belukar
menghisap sari madu kehidupan
sedang aku cukup tumbuh
dari daun-daun gugur
di kota-kota padat beton dan baja
aku jadi penghuni tak berharga
tapi dengarlah kecipak ikan-ikan
bernyanyi atas kehadiranku
ketika tubuhku kurelakan
lumat jadi santapan
akulah si paling buruk rupa
diantara para kekasih dunia
namun syukurku tak tertahankan
ketika dapat ikut menyuburkan taman bunga di beranda
Analisis Puisi ‘Zikir Seekor Cacing’ Karya Ahmadun Yossi Herfanda
a. Efoni
Bunyi efoni dipakai untuk
menghadirkan suasana keriangan, semangat, gerak, vitalitas hidup, kegembiraan, keberanian
dan sebagainya. Secara visual ragam efoni didominasi dengan penggunaan
bunyi-bunyi vokal. Efoni biasanya untuk menggambarkan perasaan cinta atau
hal-hal yang menggambar kankesenangan lainnya.
Orkestrasi bunyi yang merdu ini
biasanya dapat atau untuk menggambarkan perasaan mesra, kasih sayang atau
cinta, serta hal-hal yang menggembirakan” (Pradopo, 1987:28). Selain itu
menurut Pradopo (1987:29) bahwa “kombinasi bunyi-bunyi vokal (asonansi):
a,i,u,e,o, bunyi-bunyi konsonan bersuara (voiced):
b,d,g,j, bunyi liquida: r,l, dan bunyi sengau: m,n,ng,ny menimbulkan bunyi
merdu dan merdu yang biasa disebut eufoni”.
Berikut ini analisis unsur bunyi efoni
dalam puisi ‘zikir seekor cacing’
cobalah
kaudengar zikirku, menetes
jadi madu di pucuk-pucuk akar pohon itu
kucangkul tanah keras jadi gembur
kurabuk ladang tanpa hara jadi subur
kubimbing akar-akar pohonan
menyusup sela-sela batu dan belukar
menghisap sari madu kehidupan
sedang aku cukup tumbuh
dari daun-daun gugur
jadi madu di pucuk-pucuk akar pohon itu
kucangkul tanah keras jadi gembur
kurabuk ladang tanpa hara jadi subur
kubimbing akar-akar pohonan
menyusup sela-sela batu dan belukar
menghisap sari madu kehidupan
sedang aku cukup tumbuh
dari daun-daun gugur
(
Zikir Seekor Cacing bait ke-2)
Dari analisis bunyi
efoni diatas (huruf yang ditebalkan) dapat diketahui bunyi efoni dalam bait ke
2 puisi zikir seekor cacing lebih banyak ditemui, pesan atau isi dari puisi
tersebut juga menggambarkan semangat dari pengarang atau rakyat indonesia yang
diibaratka menjadi seekor cacing, disini sesuai dengan penjelasan pengertian
efoni sebelumnya bahwa efoni atau unsur bunyi dalam puisi yang menggambarkan
semangat, dan keberanian.
Efoni yang sering muncul dalam puisi zikir
seekor cacing bait ke-2 adalah bunyi sengau seperti –ng,-ny,-n,g,n yang bertemu
hruf vokal a,i,u,e,o. Bunyi sengau yag bertemu dengan bunyi vokal ini menambah
kesan keindahan bunyi yang dapat menggugah semangat siapa saja yang membacanya
selain itu, kepercayaan diri pengarang atas dirinya yang diibaratkan menjadi
seekor cacing sangat terlihat,walaupun hanya seekor cacing namun peran cacing
dalam kehidupan manusia ditunjukan menonjol dalam puisi ini seperti membimbing
air memasuki sela akar pohon, mencangkul tanah agar subur, dsb.
di
kota-kota padat beton dan baja
aku jadi penghuni tak berharga
tapi dengarlah kecipak ikan-ikan
bernyanyi atas kehadiranku
ketika tubuhku kurelakan
lumat jadi santapan
( Zikir Seekor Cacing Bait ke-3)
aku jadi penghuni tak berharga
tapi dengarlah kecipak ikan-ikan
bernyanyi atas kehadiranku
ketika tubuhku kurelakan
lumat jadi santapan
( Zikir Seekor Cacing Bait ke-3)
pada bait ke-3 puisi zikir seekor cacing
diatas ditemukan banyak bunyi efoni seperti pada bait sebelumnya yang sudah
dibahas di atas di bait le-3 ini juga ditemui efoni bunyi sengau, ada dua bunyi sengau –ng, dua bunyi sengau –ny, dan lima bunyi sengau
–n, selain efoni pada bait ke-3 didominasi dengan huruf vokal a,i,u,e,o.
Pada bait ketiga puisi zikir seekor cacing
menggambarkan posisi terendah seorang rakyat yang digambarkan sebagai seekor
cacing, namun di balik ketidak berdaayaan atau kerendahan martabat cacing masih
ada yang bahagia dengan adanya seekor cacing yaitu ikan, walaupun cacing
tersebut harus mengorbankan dirinya agar ikan tersebut bahagia.
akulah si paling buruk rupa diantara para kekasih dunia
namun syukurku tak tertahankan
ketika dapat ikut menyuburkan taman bunga di beranda
namun syukurku tak tertahankan
ketika dapat ikut menyuburkan taman bunga di beranda
( Zikir Seekor Cacing bait ke-4)
Bunyi efoni pada puisi zikir seekor
cacing bait ke-4 terdapat empat bunyi sengau –n, dua bunyi sengau –ng, dan lainnya adalah bunyi vokal. Bunyi sengau
an-an terdapat pada baris ke-3 dan baris ke-4 membuat bunyi pada puisi zikir
seekor cacing lebih indah. Pada bait ke-4 ini menggambarkan syukur seorang
rakyat yang walaupun dianggap rendah atau tak dipandang oleh pemerintah yang
diibartkan cacing yang buruk rupa diantara mkluk di dunia, namun rasa syukur
dan kebahagiannya tetap terpanjat karena seekor cacinglah yang mebuat tanah
pada taman menjadi subur dan tumbuh dengan indah.
Dari empat bait yang ada pada puisi
‘Zikir Seekor Cacing’ terdapat tiga bait
(bait2, bait3, dan bait4) yang mengandung unsur bunyi eufoni. Seperti yang
sudah dijabarkan diatas bunyi efoni dipakai untuk menghadirkan suasana
keriangan, semangat, gerak, vitalitas hidup, kegembiraan, keberanian dan
sebagainya. Jadi dapat disimpulkan bahawa puisi zikir seekor cacing adalah
puisi eufoni yang menggambarkan semangat perjuangan seorang rakyat indonesia
atau pengarang yang diibaratkan sebagai seekor cacing yang tidak dipandang dan
tak diperdulikan oleh orang lain.
b. Bunyi Kakafoni
Bunyi kakafoni dapat dipakai untuk
menciptakan suasana-suasana ketertekanan, keterasingan, kesedihan, syahdu,
suram, haru, pilu, dan sbagainya. Secara visual ragam bunyi ini banyak memakai
konsonan /b/, /p/, /m/, /k/, /h/, /p/, /t/, /s/, /r/, /ng/, /ny/. Menurut
Pradopo (1987:30) “kakofoni merupakan kombinasi bunyi yang tidak merdu, parau,
penuh bunyi k,t,s,p,n, ini disebut kakofoni (cacophony)”.Menurut Menurut sumber
di internet “Kakafoni adalah
pemanfaatan bunyi sedemikian rupa sehingga bunyi yang dirangkaikan di dalam
sajak menimbulkan suatu kesan keburaman. Kesan ini tercermin dari keseluruhan
sajak dan tertangkap dari keseluruhan sajak melalui suasana yang melingkupinya”.
dalam
duniamu aku cacing tak bermakna
yang melata dari lumpur ke lumpur
peradaban tanpa jiwa, yang menggeliat
di selokan-selokan kumuh kota, yang
bahagia ketika pohon-pohon berbunga
yang melata dari lumpur ke lumpur
peradaban tanpa jiwa, yang menggeliat
di selokan-selokan kumuh kota, yang
bahagia ketika pohon-pohon berbunga
(
Zikir Seekor Cacing bait ke-1)
dari
analisis bunyi kakofoni diatas yang terdapat pada bait ke-1 puisi zizkir seekor
cacing terdapat bunyi kakofoni k,t,r,dan n menunjukan adanya kesan keterasingan penyair
sebagai rakyat indonesia, yang dia ibaratkan cacing tak bermakna yang hidup di
lingkungan kotor yaitu lumpur. Lingkungan yang kumuh atau terendah biasanya
dibaratkan lumpur. Dari keempat bait puisi , hanya satu bait yang mengandung
unsur bunyi kakofoni.
c. Aliterasi
Merupakan pengulangan bunyi konsonan yang
sama dalam baris-baris puisi; biasanya pada awal kata/perkataan yang berurutan.
Pengulangan seperti itu menimbulkan kesan keindahan bunyi. Pengulangan
bunyi yang dapat dikategorikan pada bunyi aliterasi adalah pengulangan
bunyi secara dominan. Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa aliterasi adalah bunyi yang
muncul karena pengulangan bunyi konsonan yang sama dan dominan dalam satu baris
sajak.
cobalah
kaudengar zikirku, menetes
jadi madu di pucuk-pucuk akar pohon itu
kucangkul tanah keras jadi gembur
kurabuk ladang tanpa hara jadi subur
kubimbing akar-akar pohonan
menyusup sela-sela batu dan belukar
menghisap sari madu kehidupan
sedang aku cukup tumbuh
dari daun-daun gugur
jadi madu di pucuk-pucuk akar pohon itu
kucangkul tanah keras jadi gembur
kurabuk ladang tanpa hara jadi subur
kubimbing akar-akar pohonan
menyusup sela-sela batu dan belukar
menghisap sari madu kehidupan
sedang aku cukup tumbuh
dari daun-daun gugur
( Zikir Seekor
Cacing bait ke-2)
Dari analisis puisi zikir seekor cacing diatas (yang ditebalkan) trdapat penggunaaan alitrasi yang menonjol
yaitu pengulangan konsonan ‘r’. Munculnya konsonan ‘r’ sagat nampak pada puisi
zikir cacing pada bait ke-2. Kata-kata yang menengunakan konsonan ‘r’
dibelakang kata adalah dengar, akar,subur, gembur,gugur dan belukar. Menururt
saya dalam puisi ahmadun yossi herfanda ini, sangat jarang menggunakan alitrasi
yang dominan dalam setiap baitnya karena penyair sepertinya lebih mengutamakan
penggunaan majas, diksi, tapi tidak sepenuhnya menggunakan permainan bunyi
seperti alitrasi dan asonansi.
d. Asonansi
Asonansi merupakan
pemanfaatan unsur bunyi vokal secara berulang-ulang dalam satu baris
sajak. Halnya sama dengan aliterasi, hanya pengulangan di sini
merupakan pengulangan bunyi-bunyi vokal. Efek yang diharapkan muncul dari
pemanfaatan bunyi vokal secara berulang ini adalah kemerduan bunyi”. Sebagaimana
pada aliterasi, pada asonansi pun tidak semua pengulangan bunyi vokal
dapat disebut juga asonansi. Hanya pengulangan bunyi yang sama secara
dominan (di dalam sajak) yang dapat dikategorikan sebagai asonansi. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan
bahwa asonansi adalah bunyi yang muncul karena pengulangan bunyi vokal
yang sama dan dominan dalam satu baris sajak.
akulah si paling buruk rupa
diantara para kekasih dunia
diantara para kekasih dunia
( Zikir Seekor
Cacing , bait ke-4 baris 1-2)
Asonansi
dalam bait ke 4 baris 1-2 ini mempunyai
asonansi ‘a’, hal ini disimpulkan karena pada baris selanjutnya tidak ada
pengulangan bunyi vokal yang pasti.
Pengulangan vokal a ini terlihat pada bait 4 namun lebih spesifik di baris 1
dan 2.
dalam duniamu aku cacing tak bermakna
yang melata dari lumpur ke lumpur
peradaban tanpa jiwa, yang menggeliat
di selokan-selokan kumuh kota, yang
bahagia ketika pohon-pohon berbunga
yang melata dari lumpur ke lumpur
peradaban tanpa jiwa, yang menggeliat
di selokan-selokan kumuh kota, yang
bahagia ketika pohon-pohon berbunga
(Zikir Seekor
Cacing, bait ke-1 )
Asoansi dalam bait ke-1 adalah asonansi
‘a’ karena banyak huruf yang berkhiran dengan vokal ‘a’. Seperti pada baris ke
5 ada kata kota yang selanjutnya diikuti tanda (,) dan kata konjungsi yang,
namun pada puisi ini bari di selokan-selokan kota kata ‘kota’ lebih ditekankan,
karena baris selanjutnya kata terkhir ‘berbunga’ juga berakhiran ‘a’.
e.
Diksi
Diksi
merupakan pilihan kata-kata yang dipilih oleh seorang penyair untuk
mengungkapkan ekspresi dan perasaannya. Pemilihan kata-kata dalam puisi lazim
disebut diksi. “Gaya pemilihan kata-kata adalah cara penggunaan kata/kata-kata
dalam teks sastra sebagai alat untuk menyampaikan gagasan dan nilai estetis
tertentu” (Aminuddin, 1995:201). Menurut Slametmuljana (Pradopo, 10987: 49)
“penyair tampaknya memepergunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa
sehari-hari. Hal ini disebabkan bahasa sehari-hari belum cukup dapt melukiskan
apa yang dialami jiwanya”. Pemilihan kata yang baik dan bermakna, penempatan
kata yang tepat, penggunaan kata-kata yang mampu menguatkan isi puisi yang
estetis dan berkualitas.
Pemilihan
kata yang digunakan pada puisi ‘zikir seekor cacing’ adalah majas metafora
maupun kata konotasi. Jadi apa yang dijadikan subjek dalam puisis ‘zikir seekor
cacing’ bukanlah cacing dalam arti sebenarnya namun cacing disitu diumpamakan
sebagai rakyat.
dalam
duniamu aku cacing tak bermakna
yang melata dari lumpur ke lumpur
yang melata dari lumpur ke lumpur
(zikir seekor cacing bait ke-1 baris ke 1-2)
dari kutipan puisi diatas cacing adalah rakyat yang tak berdaya atau tak berguna apa-apa dalam sebuah pemerintahana atau dalam sebuah negara. Cacing melata dari lumpur ke lumpur maksutnya rakyat yang hidupnya di daerah kumuh pindah dari satu tempat ketempat lain.
Selain
pengubahan atau perumpaan rakyat yang digambarkan sebagai cacing, pada puisi
zikir seekor cacing terdapat berapa
majas litotes, yaitu pengkapan berupa penurunan kualitas suatu fakta dengan
tujuan merendahkan diri.
di
kota-kota padat beton dan baja
aku jadi penghuni tak berharga
aku jadi penghuni tak berharga
(zikir seekor cacing
bait ke-3 baris ke 1-2)
Pada
kutipan puisi diatas diungkapkan bahwa seekor cacing merupakan penghuni kota
yang tak berharga, padahal pada
kenyataanya cacing juga masih banyak dibutuhkan untuk kesuburan tanah dan agar
ekosistem tetap berjalan semestinya cacing sangat dibutuhkan karena cacing
adalah pengurai sisa kotoran,sampah, maupun bangkai makluk hidup lainnya.
akulah
si paling buruk rupa
diantara para kekasih dunia
(zikir seekor cacing bait ke-4 baris ke 1-2)
diantara para kekasih dunia
(zikir seekor cacing bait ke-4 baris ke 1-2)
pada
kutipan puisi diatas juga terlihat majas litotes kembali digunakan penyair
dengan merendahkan martabat seekor cacing (rakyat atau penyair) sebagai makluk yang paling buruk di
dunia diatara makluk lainnya
Puisi ahmaun yosi herfanda memang sering
mengumpakan dirinya atau rakyat sebagai benda hidup seperti pada puisisnya
zikir seekor semut, dan juga sembayang rerumputan, pada puisis zikir seekor
semut semut juga menwakili gambaran rakyat atau sang penyair itu sendiri, pada
puisis sembayang rerumputan ahmadun yosi herfanda juga melakukan hal yang sama
yaitu mengibaratkan dirinya sebagai rum-rumput yang ada di kota besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar