Rabu, 13 Mei 2015

Analisis Bunyi dalam Puisis Zikir Seekor Cacing

Zikir Seekor cacing
dalam duniamu aku cacing tak bermakna
yang melata dari lumpur ke lumpur
peradaban tanpa jiwa, yang menggeliat
di selokan-selokan kumuh kota, yang
bahagia ketika pohon-pohon berbunga

cobalah kaudengar zikirku, menetes
jadi madu di pucuk-pucuk akar pohon itu
kucangkul tanah keras jadi gembur
kurabuk ladang tanpa hara jadi subur
kubimbing akar-akar pohonan
menyusup sela-sela batu dan belukar
menghisap sari madu kehidupan
sedang aku cukup tumbuh
dari daun-daun gugur
                                              
di kota-kota padat beton dan baja
aku jadi penghuni tak berharga
tapi dengarlah kecipak ikan-ikan
bernyanyi atas kehadiranku
ketika tubuhku kurelakan
lumat jadi santapan


akulah si paling buruk rupa
diantara para kekasih dunia
namun syukurku tak tertahankan
ketika dapat ikut menyuburkan                                                                                           taman bunga di beranda

















Analisis Puisi ‘Zikir  Seekor Cacing’ Karya Ahmadun Yossi Herfanda
a.      Efoni
Bunyi efoni dipakai untuk menghadirkan suasana keriangan, semangat, gerak, vitalitas hidup, kegembiraan, keberanian dan sebagainya. Secara visual ragam efoni didominasi dengan penggunaan bunyi-bunyi vokal. Efoni biasanya untuk menggambarkan perasaan cinta atau hal-hal yang menggambar kankesenangan lainnya.

Orkestrasi bunyi yang merdu ini biasanya dapat atau untuk menggambarkan perasaan mesra, kasih sayang atau cinta, serta hal-hal yang menggembirakan” (Pradopo, 1987:28). Selain itu menurut Pradopo (1987:29) bahwa “kombinasi bunyi-bunyi vokal (asonansi): a,i,u,e,o, bunyi-bunyi konsonan bersuara (voiced): b,d,g,j, bunyi liquida: r,l, dan bunyi sengau: m,n,ng,ny menimbulkan bunyi merdu dan merdu yang biasa disebut eufoni”.
      Berikut ini analisis unsur bunyi efoni dalam puisi ‘zikir seekor cacing’
cobalah kaudengar zikirku, menetes
jadi madu di pucuk-pucuk akar pohon itu
kucangkul tanah keras jadi gembur
kurabuk ladang tanpa hara jadi subur
kubimbing akar-akar pohonan
menyusup sela-sela batu dan belukar
menghisap sari madu kehidupan
sedang aku cukup tumbuh
dari daun-daun gugur
( Zikir Seekor Cacing bait ke-2)
Dari analisis bunyi efoni diatas (huruf yang ditebalkan) dapat diketahui bunyi efoni dalam bait ke 2 puisi zikir seekor cacing lebih banyak ditemui, pesan atau isi dari puisi tersebut juga menggambarkan semangat dari pengarang atau rakyat indonesia yang diibaratka menjadi seekor cacing, disini sesuai dengan penjelasan pengertian efoni sebelumnya bahwa efoni atau unsur bunyi dalam puisi yang menggambarkan semangat, dan keberanian.
     Efoni yang sering muncul dalam puisi zikir seekor cacing bait ke-2 adalah bunyi sengau seperti –ng,-ny,-n,g,n yang bertemu hruf vokal a,i,u,e,o. Bunyi sengau yag bertemu dengan bunyi vokal ini menambah kesan keindahan bunyi yang dapat menggugah semangat siapa saja yang membacanya selain itu, kepercayaan diri pengarang atas dirinya yang diibaratkan menjadi seekor cacing sangat terlihat,walaupun hanya seekor cacing namun peran cacing dalam kehidupan manusia ditunjukan menonjol dalam puisi ini seperti membimbing air memasuki sela akar pohon, mencangkul tanah agar subur, dsb.
di kota-kota padat beton dan baja
aku jadi penghuni tak berharga
tapi dengarlah kecipak ikan-ikan
bernyanyi atas kehadiranku
ketika tubuhku kurelakan
lumat jadi santapan
( Zikir Seekor Cacing Bait ke-3)
pada bait ke-3 puisi zikir seekor cacing diatas ditemukan banyak bunyi efoni seperti pada bait sebelumnya yang sudah dibahas di atas di bait le-3 ini juga ditemui efoni bunyi sengau, ada  dua bunyi sengau –ng,  dua bunyi sengau –ny, dan lima bunyi sengau –n,  selain efoni pada bait ke-3  didominasi dengan huruf vokal a,i,u,e,o.
     Pada bait ketiga puisi zikir seekor cacing menggambarkan posisi terendah seorang rakyat yang digambarkan sebagai seekor cacing, namun di balik ketidak berdaayaan atau kerendahan martabat cacing masih ada yang bahagia dengan adanya seekor cacing yaitu ikan, walaupun cacing tersebut harus mengorbankan dirinya agar ikan tersebut bahagia.
          akulah si paling buruk rupa                                                                 diantara para kekasih dunia
           namun syukurku tak tertahankan
           ketika dapat ikut menyuburkan                                                                      taman bunga di beranda
         ( Zikir Seekor Cacing bait ke-4)
Bunyi efoni pada puisi zikir seekor cacing bait ke-4 terdapat empat bunyi sengau –n, dua bunyi sengau –ng, dan  lainnya adalah bunyi vokal. Bunyi sengau an-an terdapat pada baris ke-3 dan baris ke-4 membuat bunyi pada puisi zikir seekor cacing lebih indah. Pada bait ke-4 ini menggambarkan syukur seorang rakyat yang walaupun dianggap rendah atau tak dipandang oleh pemerintah yang diibartkan cacing yang buruk rupa diantara mkluk di dunia, namun rasa syukur dan kebahagiannya tetap terpanjat karena seekor cacinglah yang mebuat tanah pada taman menjadi subur dan tumbuh dengan indah.
Dari empat bait yang ada pada puisi ‘Zikir Seekor Cacing’ terdapat  tiga bait (bait2, bait3, dan bait4) yang mengandung unsur bunyi eufoni. Seperti yang sudah dijabarkan diatas bunyi efoni dipakai untuk menghadirkan suasana keriangan, semangat, gerak, vitalitas hidup, kegembiraan, keberanian dan sebagainya. Jadi dapat disimpulkan bahawa puisi zikir seekor cacing adalah puisi eufoni yang menggambarkan semangat perjuangan seorang rakyat indonesia atau pengarang yang diibaratkan sebagai seekor cacing yang tidak dipandang dan tak diperdulikan oleh orang lain.
b.      Bunyi Kakafoni
Bunyi kakafoni dapat dipakai untuk menciptakan suasana-suasana ketertekanan, keterasingan, kesedihan, syahdu, suram, haru, pilu, dan sbagainya. Secara visual ragam bunyi ini banyak memakai konsonan /b/, /p/, /m/, /k/, /h/, /p/, /t/, /s/, /r/, /ng/, /ny/. Menurut Pradopo (1987:30) “kakofoni merupakan kombinasi bunyi yang tidak merdu, parau, penuh bunyi k,t,s,p,n, ini disebut kakofoni (cacophony)”.Menurut Menurut sumber di internet  “Kakafoni adalah pemanfaatan bunyi sedemikian rupa sehingga bunyi yang dirangkaikan di dalam sajak menimbulkan suatu kesan keburaman. Kesan ini tercermin dari keseluruhan sajak dan tertangkap dari keseluruhan sajak melalui suasana yang melingkupinya”.
dalam duniamu aku cacing tak bermakna
yang melata dari lumpur ke lumpur
peradaban tanpa jiwa, yang menggeliat
di selokan-selokan kumuh kota, yang
bahagia ketika pohon-pohon berbunga
( Zikir Seekor Cacing bait ke-1)
dari analisis bunyi kakofoni diatas yang terdapat pada bait ke-1 puisi zizkir seekor cacing terdapat bunyi kakofoni k,t,r,dan n  menunjukan adanya kesan keterasingan penyair sebagai rakyat indonesia, yang dia ibaratkan cacing tak bermakna yang hidup di lingkungan kotor yaitu lumpur. Lingkungan yang kumuh atau terendah biasanya dibaratkan lumpur. Dari keempat bait puisi , hanya satu bait yang mengandung unsur bunyi kakofoni.
c.       Aliterasi
Merupakan pengulangan bunyi konsonan yang sama dalam baris-baris puisi; biasanya pada awal kata/perkataan yang berurutan. Pengulangan seperti itu menimbulkan kesan keindahan bunyi. Pengulangan bunyi yang dapat dikategorikan pada bunyi aliterasi adalah pengulangan bunyi secara dominan. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa aliterasi adalah bunyi yang muncul karena pengulangan bunyi konsonan yang sama dan dominan dalam satu baris sajak.  
cobalah kaudengar zikirku, menetes
jadi madu di pucuk-pucuk akar pohon itu
kucangkul tanah keras jadi gembur
kurabuk ladang tanpa hara jadi subur
kubimbing akar-akar pohonan
menyusup sela-sela batu dan belukar
menghisap sari madu kehidupan
sedang aku cukup tumbuh
dari daun-daun gugur
( Zikir Seekor Cacing bait ke-2)
Dari analisis puisi zikir seekor cacing diatas (yang ditebalkan)  trdapat penggunaaan alitrasi yang menonjol yaitu pengulangan konsonan ‘r’. Munculnya konsonan ‘r’ sagat nampak pada puisi zikir cacing pada bait ke-2. Kata-kata yang menengunakan konsonan ‘r’ dibelakang kata adalah dengar, akar,subur, gembur,gugur dan belukar. Menururt saya dalam puisi ahmadun yossi herfanda ini, sangat jarang menggunakan alitrasi yang dominan dalam setiap baitnya karena penyair sepertinya lebih mengutamakan penggunaan majas, diksi, tapi tidak sepenuhnya menggunakan permainan bunyi seperti alitrasi dan asonansi.


d.      Asonansi
 Asonansi merupakan pemanfaatan unsur bunyi vokal secara berulang-ulang dalam satu baris sajak.  Halnya sama dengan aliterasi, hanya pengulangan di sini merupakan pengulangan bunyi-bunyi vokal. Efek yang diharapkan muncul dari pemanfaatan bunyi vokal secara berulang ini adalah kemerduan bunyi”. Sebagaimana pada aliterasi, pada asonansi pun tidak semua pengulangan bunyi vokal dapat disebut juga asonansi. Hanya pengulangan bunyi yang sama secara dominan (di dalam sajak) yang dapat dikategorikan sebagai asonansi.  Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa asonansi adalah bunyi yang muncul karena pengulangan bunyi vokal yang sama dan dominan dalam satu baris sajak.
akulah si paling buruk rupa
diantara para kekasih dunia
( Zikir Seekor Cacing , bait ke-4 baris 1-2)
Asonansi dalam bait ke 4  baris 1-2 ini mempunyai asonansi ‘a’, hal ini disimpulkan karena pada baris selanjutnya tidak ada pengulangan  bunyi vokal yang pasti. Pengulangan vokal a ini terlihat pada bait 4 namun lebih spesifik di baris 1 dan 2. 
dalam duniamu aku cacing tak bermakna
yang melata dari lumpur ke lumpur
peradaban tanpa jiwa, yang menggeliat
di selokan-selokan kumuh kota, yang
bahagia ketika pohon-pohon berbunga
(Zikir Seekor Cacing, bait ke-1 )
Asoansi dalam bait ke-1 adalah asonansi ‘a’ karena banyak huruf yang berkhiran dengan vokal ‘a’. Seperti pada baris ke 5 ada kata kota yang selanjutnya diikuti tanda (,) dan kata konjungsi yang, namun pada puisi ini bari di selokan-selokan kota kata ‘kota’ lebih ditekankan, karena baris selanjutnya kata terkhir ‘berbunga’ juga berakhiran ‘a’.


e.       Diksi
Diksi merupakan pilihan kata-kata yang dipilih oleh seorang penyair untuk mengungkapkan ekspresi dan perasaannya. Pemilihan kata-kata dalam puisi lazim disebut diksi. “Gaya pemilihan kata-kata adalah cara penggunaan kata/kata-kata dalam teks sastra sebagai alat untuk menyampaikan gagasan dan nilai estetis tertentu” (Aminuddin, 1995:201). Menurut Slametmuljana (Pradopo, 10987: 49) “penyair tampaknya memepergunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa sehari-hari. Hal ini disebabkan bahasa sehari-hari belum cukup dapt melukiskan apa yang dialami jiwanya”. Pemilihan kata yang baik dan bermakna, penempatan kata yang tepat, penggunaan kata-kata yang mampu menguatkan isi puisi yang estetis dan berkualitas.

Pemilihan kata yang digunakan pada puisi ‘zikir seekor cacing’ adalah majas metafora maupun kata konotasi. Jadi apa yang dijadikan subjek dalam puisis ‘zikir seekor cacing’ bukanlah cacing dalam arti sebenarnya namun cacing disitu diumpamakan sebagai rakyat.

dalam duniamu aku cacing tak bermakna
             yang melata dari lumpur ke lumpur
(zikir seekor cacing bait ke-1 baris ke 1-2)

dari kutipan puisi diatas  cacing adalah rakyat yang tak berdaya atau tak berguna apa-apa dalam sebuah pemerintahana atau dalam sebuah negara. Cacing melata dari lumpur ke lumpur maksutnya rakyat yang hidupnya di daerah kumuh pindah dari satu tempat ketempat lain.
Selain pengubahan atau perumpaan rakyat yang digambarkan sebagai cacing, pada puisi zikir seekor cacing  terdapat berapa majas litotes, yaitu pengkapan berupa penurunan kualitas suatu fakta dengan tujuan merendahkan diri.
di kota-kota padat beton dan baja
aku jadi penghuni tak berharga
(zikir seekor cacing bait ke-3 baris ke 1-2)
Pada kutipan puisi diatas diungkapkan bahwa seekor cacing merupakan penghuni kota yang tak  berharga, padahal pada kenyataanya cacing juga masih banyak dibutuhkan untuk kesuburan tanah dan agar ekosistem tetap berjalan semestinya cacing sangat dibutuhkan karena cacing adalah pengurai sisa kotoran,sampah, maupun bangkai makluk hidup lainnya.
akulah si paling buruk rupa
diantara para kekasih dunia
(zikir seekor cacing bait ke-4 baris ke 1-2)
pada kutipan puisi diatas juga terlihat majas litotes kembali digunakan penyair dengan merendahkan martabat seekor cacing (rakyat atau  penyair) sebagai makluk yang paling buruk di dunia diatara makluk lainnya
 Puisi ahmaun yosi herfanda memang sering mengumpakan dirinya atau rakyat sebagai benda hidup seperti pada puisisnya zikir seekor semut, dan juga sembayang rerumputan, pada puisis zikir seekor semut semut juga menwakili gambaran rakyat atau sang penyair itu sendiri, pada puisis sembayang rerumputan ahmadun yosi herfanda juga melakukan hal yang sama yaitu mengibaratkan dirinya sebagai rum-rumput yang ada di kota besar.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar