BAHASA PERDAGANGAN ETNIS ARAB,
MADURA,DAN
CHINA
( Kajian
Sosiolinguistik Bahasa dan Etnis pada Bahasa Perdagangan Tiga Etnis di Kawasan
Surabaya Utara)
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Pendahuluan
Kajian ilmu
sosiolinguistik membahas interaksi bahasa antarinvidu dengan individu yang
lain. Pembahasan sosiolinguistik salah satunya adalah hubungan bahasa dengan
etnis, etnis berarti sebuah bangsa yang didefinisikan berdasarkan kesamaan
sejarah, kesamaan tradisi, dan kesamaan bahasa (Thomas dan Wareing, 2007:136).
Etnik mengacu kepada kelompok yang
keanggotaannya berdasarkan asal usul keturunan. Bahasa sering kali dipandang
sebagai ciri khas suatu etnis, misalnya bahasa Madura dengan logat dan nada
tingginya. Sumarsono (2013:67) menyatakan adapula pandangan yang menyatakan
adanya suatu hubungan yang tetap dan pasti, antara ciri-ciri fisik suatu etnik
dengan sesuatu bahasa atau variasi tertentu.
Penelitian ini akan
membahas mengenai bahasa dan etnis, khususnya bahasa perdagangan yang digunakan
oleh tiga etnis berbeda di kawasan Surabaya utara. Terdapat tiga etnis yang
mendominasi perdagangan di kawasan Surabaya utara, antara lain etnis China,
Madura, dan Arab. Lokasi peneleitian yang berdekatan dengan jembatan Suramadu
ini, mengakibatkan banyaknya pendatang dari Madura yang mencari lahan pekerjaan
di Surabaya, salah satunya yaitu dengan berdagang. Di kawasan Surabaya Utara
ini juga terdapat makam Sunan Ampel yang letaknya berada dalam kampung Arab,
sehingga perdagangan di kawasan tersebut di dominasi oleh etnis Arab. Selain
dua etnis tersebut penelitian ini juga meneliti bahasa perdagangan etnis China,
karena mayoritas komoditi perdagangan di Indonesia dikuasai oleh etnis ini,
begitu juga pada kawasan Surabaya utara.
Banyak masyarakat
beranggapan lebih ‘enak’ berbelanja pada orang china daripada orang madura.
Anggapan ini bisa muncul pada konsumen karena kualitas barang dan juga
pelayanan dari penjual tersebut. Pelayanan tersebut dapat dilihat dari cara
berkomunikasi melalui bahasa pedagang tersebut, salah yaitu dengan bahasa
persuasif. Bahasa persuasif merupakan ‘senjata’ yang paling mutakhir untuk
memikat pembeli. Dari penjabaran dan juga opini masyarakat tersebut peneliti
akan meneliti bahasa persuasif yang digunakan oleh pedagang dengan etnis China,
Madura, dan Arab.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang
yang telah dipaparkan sebelumnya tentang bahasa perdagangnan etnis China, Madura,
dan Arab di Surabaya Utara, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1)
Apakah ciri
khas bahasa perdagangan etnis China, Madura, dan Arab yang ada di kawasan
Surabaya Utara?
2)
Bagaimana
prinsip dagang etnis China, Madura, dan Arab, dilihat dari bahasa perdagangan
(meliputi bahasa persuasi dan tawar menawar) ?
3)
Bagaimana
aspek sosiokultural pada penggunaan bahasa pedagang etnis China,Madura, dan
Arab?
1.3 Tujuan
Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka dapat
diambil tujuan penelitian sebagai berikut:
1)
Untuk dapat
mengetahui apa ciri khas bahasa perdagangan etnis China, Madura, dan Arab yang
ada di kawasan Surabaya Utara
2)
Untuk dapat
mengetahui bagaimana prinsip dagang etnis China, Madura, dan Arab, dilihat dari
bahasa perdagangan yang digunakan oleh pedagang dari masing-masing etnis di kawasan
Surabaya Utara.
3)
Untuk dapat
mengetahui hubungan aspek sosokultural pada penggunaan bahasa pedagang etnis China,
Madura dan Arab di Kawasan Surabaya Utara
1.4 Manfaat
Penelitian
Manfaat Praktis
1)
Bagi pedagang
dapat menggunakan bahasa persuasi sesuai dengan kondisi dan bahasa persuas yang
paling ampuh dalam menarik pelanggan.
2)
Bagi pembeli
dapat menempatkan diri ketika dia melakukan kegiatan transaksi jual beli dengan
tiga etnis tertentu yang dibahas dalam penelitian ini.
Manfaat
Teoritis
1)
Memberikan
sumbungan ilmu pengetahuan pada bidang sosiolinguistik khususnya pada sub
sosiolinguistik kajian bahasa dan etnis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DAN LANDASAN TEORI
2.1
Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang
bahasa tuturan pedagang yang dilakukan oleh Saefullah (2010) dengan judul
“Keragaman Sapaan dalam Tuturan Seputar Kegiatan Perdagangandi Pasar Banjaran,
Kabupaten Bandung”. Penelitian ini membahas mengenai sistem sapaan yang
digunakan di pasar tradisional di Kecamatan Banjaran, penelitian dikhususkan
pada tuturan seputar kegiatan perdagangan, antara penjual-pembeli maupun antara
pemilik toko dengan pegawainya dan respons yang diberikan oleh petutur, baik
itu pembeli maupun karyawan toko. Pada penelitian tersebut peneliti mengambil
sampel atau data di pasar yang didalamnya terdapat interaksi sosial baik antara
penjual dan pembeli maupun orang-orang yang terlibat dilingkungan tersebut.
Penggunaan sapaan di lingkup perdagangan sangatlah beragam. Keragaman bahasa
yang mencerminkan keragaman masyarakat dapatterlihat pada salah satu segi
bahasa yang dinamakan tutur sapa.
Pada penelitian
Saefullah ini penggunaan keberagaman bahasa dalam suatu kegiatan perdagangan
dapat dilihat pada bagaimana bentuk sapaan seseorang terhadap oranag lain. Kata
sapaan yang paling sering digunakan dalam kegiatan perdagangan adalah
penggunaan istilah kekerabatan seperti Ibu, Uni,Teteh, Emang, Euceu, Akang,
Aa. Selain itu adapula kata sapaan yang tergolong pronomina, seperti Siah,
kata sapaan nominal, seperti Neng, Ujang, dan ciri zero. Penggunaan kata
sapaan dalam perdagangan yang ada di Pasar Banjaran Kabupaten Bandung lebih
didominasi dengan bahasa Sunda, sedangkan untuk kata yang umum hanya ada ‘ibu’.
Penggunaan sapaan dalam kegiatan perdagangan dapat ditentukan dari beberapa
faktor yaitu jenis kelamin dan usia. Petutur merespons tuturan dan sapaan
penutur tidak berdasarkan sapaan yang digunakan penutur untuk memanggil
petutur, melainkan melihat pada jenis kelamin penutur dan perkiraan usianya.
Penelitian
berikutnya adalah penelitian yang dilakukan Utami (2004) dengan judul
‘Pemakaian Bahasa Komunitas Pedagang di Pasar Klewer Kota Sala: Sebuah Peran
Kajian Sosiolingustik Menjaga Tradisi’ Penelitian ini betujuan untuk
mengetahui wujud dari pemakai bahasa dan pola interaksi verbalnya. Data yang
digunakan adalah percakapan sehari-hari saat berada di pasar. Penelitian ini
juga bertujuan untuk mengetahui bagaimana interaksi antara orang yang beretnis
Jawa dengan orang yang berinteraksi selain Jawa dan bagaimana bahasa yang
mereka gunakan saat melakukan trasaksi jual beli. Dari penelitian ini,
diketahui bahwa bahasa yang mereka gunakan saat berkomunikasi adalah bahasa
campuran atara bahasa Indonesia dan bahasa Jawa atau bisa dikatakan bahwa
mereka menggunakan bahasa non formal. Seperti yang tedapat dalam dialog antara
pedadang dan membeli yang melakukan trasaksi jual beli. Dengan adanya interaksi
antar penutur non Jawa dan Jawa akan terdapat interaksi verbal yang melibatkan anggota
kelompok kios berlatar belakang etnik Jawa dengan orang-orang di sekitar
terwujud bahasa jawa , bahasa Indonesia, dan bahasa campuran dari bahasa Jawa
dan bahasa Indonesia dan bahasa Indonesia merupakan bahasa yang digunakan dalam
interaksi verbal yang melibatkan pemilik dan penjaga kios yang berlatar
belakang etnik non-Jawa dengan berbagai pihak yang memiliki hubungan sosial
dengan anggota komunitas ini. Faktor penentu pemakaian bahasa komunitas
pedagang etnik Jawa dalam berinteraksi dengan mitra-tutur etnik Jawa dan
non-Jawa terdiri dari faktor bahasa dan faktor di luar bahasa.
Penelitian
berikutnya yang menjadi tinjauan pustaka adalah penelitian yang dilakukan Suyaningtyas (2010) dengan
Judul ‘Akulturasi Antara Etnis China Dan Jawa: Konvergeni Atau Divergensi
Ujaran Penutur Bahasa Jawa’. Dalam
akulturasi budaya antara masyarakat Cina dan Jawa yang ada di daerah Pecinan
Semarang, masyarakat Jawa dihadapkan pada permasalahan; apakah masyarakat Jawa
akan menggeser style and feature
ujaran mereka ke dalam style and feature
ujaran etnis Cina atau mereka akan tetap memakai style and featureJawa sebagai simbol solidaritas dan kebanggaan
mereka?. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terjadi konvergensi
atau divergensi dalam proses komunikasi antara etnis Jawa dan Cina.
Konvergensi muncul dapat berwujud
dalam bentuk dialek, aksen, pengucapan, dan pemilihan kosa kata yang dipakai
oleh mitra tutur. Sebaliknya divergensi muncul karena pemakai bahasa
menggunakan gaya bahasanya secara konsisten karena faktor kebanggaan akan atribut
kelompok sosialnya. Melalui teknik pengambilan data in-depth interview bahwa subjek yang ‘berasal cenderung untuk
mengikuti style and feature ujaran
etnis cina, hal ini dikarenakan masyarakat Jawa di daerah pecinan Semarang
kebanyakan berasal dari kelompok sosial menengah kebawah dan sebagian besar
mereka bekerja di orang etnis cina. Sehingga untuk dapat memperlancar hubungan
komunikasi maupun solidaritas antara majikan dan bawahan orang Jawa lebih
sering menggunakan style and feature
dari etnis Cina.
Masyarakat Jawa yang ada di daerah
pecinan secara umum memiliki status sosial yang rendah, sehingga untuk meningkatkan status sosialnya masyarakat
tersebut cenderung bertututur seperti penutur Cina. Selain itu kebanggaan atau
solidaritas etnis Jawa terhadap style and
feature nya menjadi luntur karena pengaruh lingkungan dan status sosialnya.
Di lingkungan Pecinan etnis Cina lebih memiliki kelas sosial yang tinggi dan
masyarakat Jawa beraa di bawah kelas sosialnya. Sehingga menyebabkan etnis Jawa
lebih mengikuti style and feature
etnis Cina. Dapat disimpulkan di daerah Pecinan etnis Jawa mengalami
konvergensi bahasa terhadap style and
feature yang ada di etnis Cina.
Penelitian berikutnya terkait
dengan bahas persuasi pedagang. Penelitian ini dilakukan oleh Alfiah (2014)
dengan judul “Tuturan Persuasif Pedagang
dalam Interaksi Jual Beli di Pasar Tanjung Jember”. Di kota Jember
terdapat pasar tradisional yang bernama Pasar Tanjung yang berlokasi tepat di
tengah kota. Hal ini menyebabkan adanya keragaman bahasa yang digunakan
pedagang dalam menawarkan dagangannya. Penggunaan bahasa dalam kegiatan jual
beli haruslah menggunakan komunikasi yang baik, salah satu bentuk komunikasi
pedagang terdapat sebuah tuturan persuasi. Tuturan persuasi dalam kegiatan jual
beli di Pasar Tanjung ini dapat diketahui dari struktur kalimatnya yang
meliputi, deklaratif, imperatif, dan interogatif. Selain itu modus tuturan persuasif
dapat diketahui penyampaian kalimatnya yakni tuturan persuasif dalam modus
deklaratif, modus imperatif, dan modus interogatif.
2.2 Landasan Teori
Dalam
penelitian ini peneliti akan menggunakan beberapa teori sebagai pedoman atau
alat pembedah dari data yang telah diperoleh peneliti. Ladasan teori penelitian
ini meliputi etninisitas, bahasa persuasi yang nantinya sebagai pedoman utama
untuk mengetahui basa persuasi dengan teknik apa yang sering digunakan
pedagang, dan campur kode.
2.2.1 Etnisitas
Kata etnis
sendri berasal dari bahasa Yunani yaitu “ethnos” yang berarti bangsa. Penggunaan istilah etnis
mengacu pada suatu kerangka dasar dimana yang menjadi landasan bagi perwujudan
adaya etnik adalah pada adanya pengorganisasian sosial yang didapatkan olehpara
pelakunya secara skretif untuk keperluan interaksi sosial. Sumarsono (2013:67)
menyatakan etnis mengacu kepada kelompok yang keanggotaannya berdasarkan
asal-usul keturunan, kelompok demikian ditandai dengan ciri-ciri relatif tetap
seperti warna kulit, rambut, hidung, dan sebagainya. Sejalan dengan pendapat
Sumarsono, Cahyono (1995:425) menyatakan sebuah kelompok dikatakan sebagai
kelompok etnik yang memiliki identitas tersendiri apabila kelompok itu memiliki
perbedaan mencolok bila dibandingkan dengan kelompok-kelompok yang lain.
Ada dua konsep
yang banyak digunakan dalam pembahasan tetang kelompok etnis yaitu etnis
mayoritas dan etnis minoritas. Etnis mayoritas merujuk pada kelompok-kelompok
etnis yang memegang kekuasaan sosial dan politik di sebuah negara, jadi etnis
mayoritas tidak merujuk pada kuantitas atau jumlah individunya. Istilah etnis
minoritas merujuk pada kelompo etnis yang kekuasaan sosial dan politiknya kecil
atau tidak ada sama sekali. Etnis mayoritas adalah kelompok yang berperan dominan
dalam mempengaruhi infrastruktur dalam sebuah sistem. Seringkali etnis
mayoritas disebuah negara mencakup sebagian besar dari populasi di negara ini
dan etnis minoritas adalah kelompok yang lebih sedikit jumlahnya. Namun perlu
diperhatikan bahwa jumlah kelompok yang kecil juga dapat menguasai suatu
sistem, misalnya etnis cina yang ada di Indonesia. Menurut Tan (1981:1) dalam
bukunya yang berjudul “Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia” etnis cina
memiliki presentasi 2,6% dari seluruh penduduk Indonesia, namun mereka
merupakan etnis yang sangat berperan penting dalam perdagangan di Indonesia
baik perdangan luar dan dalam negeri serta, perdangan besar dan perdagangan
perantara. Tan (1981:31) jumlah orang
Tionghoa yang berkecimpung dalam perdagangan di Jawa dan Madura, mutlak maupun
nisbi merupakan yang terbesar di Indonesia dengan angka 54,7%.
Appel dan
Muyskem (Cahyono 1955:426) memberikan definisi etnik menurut dua pendekatan,
yaitu pendekatan objektif dan pendekatan subjektif. Menurut pendekatan
objektif, status etnik suatu kelompok ditentukan oleh pola kebudayaan kelompok
tersebut yang meliputi bahasa, cerita rakyat, jenis makanan, jenis pakaiaan,
dan sebagainya. Menurut pendekatan subjektif, kelompok etnik dianggap
mencerminkan perasaan kebersamaan kelompok, sedangkan anggotanya mungkin
memeiliki perbedaan dalam berpakaian, beragama, atau berbahasa.
2.2.2 Bahasa Persuasi
Menurut
etimologi kata persuasi berasal dari bahasa Ingris yaitu “persuasion”. Yang berinduk pada kata kerja “to persuade” yang berarti membujuk, merayu, menghimbau. Kata persuasi jika ditelusuri berasal dari
bahasa latin “per sua dere” yang
berarti menggerakan seseorang melakukan sesuatu dengan sengan hati tanpa
paksaan. Menurut Sunarjo (1983:30) komunikasi persuasi selalu ditujukan kepada
suatu usaha untuk mendorong agar komunikan merubah perilaku, keyakinan, dan
sikapnya.
Persuasi merupakan salah satu metode komunikasi sosial
dan dalam penerapannya menggunakan ternik atau cara tertentu sehingga dapat
menyebabkan orang bersedia melakuakan sesuatu dengan senang hati, dengan suka
rela, dan tanpa merasa dipaksa oleh siapapun (Sastropoetro, 1986:203). Efek
utama dari komunikasi persuasi adalah menstimulasi individu untuk berfikir
mengenai dua hal yaitu pendapat dirinya sendri dan pendapat baru yag
direkomendasikan oleh mitratuturnya. Bahasa persuasi adalah senjata yang paling
ampuh yang sering digunakan oleh para pedang untuk memikat pembelinya, selain
itu bahasa persuasi biasanya digunakan pada iklan dan pemberian tanggapan tentag
isu.
Dalam
berkomunikasi persuasi terdapat beberapa tehnik yaitu, tehnik cognitive dissonance, tehnik pay off idea dan fear arousing, empathy, packing, red herring, dan tehnik asosiasi(Sunarjo, 1983:36-39) keenam
tehnik tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.
a. cognitive dissonance, tehnik
ini mengambil teori yang dikemukakan oleh Leon Festinger dimana digunakan
gejala-gejala hidup dari manusia, selanjutnya dia mau mengemukakan bahwa
prilaku manusia sering tidak sesuai dengan pendapat dan sikapnya atu apa yang
dilakukannya sering bertentangan atau hati nuraninya hal ini membuat orang
tersebuat aka mudah menerima komunikasi persuasif.
b. tehnik
pay off idea dan fear arousing, tpay off idea
adalah usaha persuasi terhadap seseorang dengan memberi reword (hadiah atau harapan yang lebih baik). Misalanya panca usaha
pertanian akan menambah penghasila petani, sehingga peani akan hidup makmur dan
sejahtera. fear arousing adalah
kebalikan dari tehnik pay off idea
yaitu sebuah tehnik yang memberi rasa ketakutan tersendiri misalnya, jika tidak
melakukan panca usaha tani panen akan berkurang dan petani akan kekurangan
serta sengsara.
c. Empathy,
isilah empathy adalah kemampuan
seseorang untuk menempatkan diri pada situasiorang lain. Pada komunikasipersuasi empathy merupakan suatu tehnik yang
sanagt penting dimanakomunikator harus lebih dahulu mengenal komunikan.Persuasi empathy ini harus dicoba terlebih
dahulu terhadap komunikator sendiri.
d. Packing, komunikasi
persuasi packing berarti sesuatu
komunikasi dalam menyajikannya dibuat sedemikian rupa sehingga sangat menarik,
menawan hati sehingga komunikan akan lebih tertarik. Dalam perdagangan suatu
barang yang telah dibungkus dengan persuasif yang baik akan lebih diminati oleh
pembeli.
e. red herring,
Dalam
komunikasi red herring digunakan sebagai teknik mengelakkan argumentasi dari
bagian yang lemah kemudian dialihkan
sedikit demi sedikit pada bagian-bagian yang dikuasai oleh komunikator dapat
pula sebagai upaya untuk mengalihkan message
komunikasi kepada suatu topik yang dihendakii oleh komunikator. Teknik ini
biasanya digunakan untuk diskusi dalam suatu perdebatan atau polemik.
f. Asosiasi
Teknik
ini menyangkutkan kepada sesuatu peristiwa yang sedang tenar, populer, hal yang
ramai dibicarakan secara positif oleh banyak orang. Misalnya ada suatu fenomena
Gunung Galunggung yang meletus dipergunakan oleh publik relation officer dari
suatu persoalan farmasi untuk memperkenalkan obat yang baru diproduksi dengan
cara menyumbangkan obat tersebut kepada korban gunung meletus.
2.2.3
Campur Kode
Suatu penggunaan
bahasa dilingkungan masyarakat dapat dilakukan dengan melakukan pencampuran
bahasa satu dengan bahasa yang lain dalam waktu yang bersamaan hal ini dapat
dikatakan dengan istilah campur kode. Campur kode terjadi karena terdapat
keberagaman bahasa yang digunakan oleh masyarakat tertentu dalam berkomunikasi.
Campur kode sering dilakukan oleh masyarakat yang bilingual. Campur kode adalah
peristiwa percakapan dengan menggunakan dua bahasa secara bersamaan untuk
menunjukkan bahwa mereka beralih dari bahasa satu ke bahasa yang lain selama
satu ujaran (Abudllah, 2012:163). Menurut Kacru (Rokman, 2013:38) campur kode
merupakan pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahaa yang satu
ke dalam bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten.Menurut
Bloomfield (Abdullah, 2012:163) menyatakan bahwa seseorang dapat dikatakan
kedwibahasaan bila dia sudah mampu menggunakan kedua bahasa yang dikuasainya
dalam setiap saat ataupun keadaan dengan kelancaran dan kecepatan yang sama
seperti pebutur asli dari bahasa masing-masing. Dari hal tersebut dapat
dikatakan bahwa kedwibahasaan merupakan sebuah ciri khas pengguna bahasa dan
bukan fenomena bahasa. Peristiwa campur kode sering dilakukan oleh bilingual
terutama sebagai rasa solidaritas, hal tersebut sering terjadi ketika melakukan
komunikasi kepada penutur yang sedang belajar bahasa.Kedwibahasaan merupakan
ciri pesan seseorang yang terlahir dalam penggunaan dua bahasa atau lebih dalam
kehidupan sehari-hari.
Menurut Thelander
(Rokman, 2013:38) menyatakan bahwa unsur-unsur bahasa yang terlibat dalam
peristiwa campur kode hanya terbatas pada tingkat klausa. Apabila dalam suatu
percakapan terdapat percampuran atau variasi yang berbeda dalam satu klausa
maka dapat dikatakan bahwa peristiwa tersebut merupakan peristiwa campur kode.
Menurut Suwito (Rokman, 2013:38) membagi penyebab terjadinya campur kode
ke dalam dua bagian dilihat dari
sifatnya, yaitu campur kode bersifat ke luar dan campur kode bersifat ke dalam.
Campur kode yang bersifat ke luar seperti identifikasi peran, identifikasi
ragam, dan keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan. Tiga sifat tersebut
saling bergantung dan tidak jarang bertumpah tindih. Campur kode sering
terlihat bila seorang penutur menyisipkan sebuah unsur-unsur bahasa daerahnya
ke dalam bahasa nasional. Selain itu campur kode terjadi karena adanya hubungan
timbal balik antara peran (penutur), bentuk bahasa dan fungsi bahasa. Artinya
jika, seorang penutur mempunyai latar belakang sosial tertentu akan cenderung
untuk memilih campur kode tertentu untuk mendukung fungsi-fungsi tertentu.
Pemilihan campur kode tersebut bermaksud untuk menunjukan status sosial dan
idintitas sosial penutur. Dari hal tersebut dapat dikatakan bahawa campur kode
merupakan pemekaiaan dua bahasa atau keddwibahasaan yang dilakukan oleh
penuturnya dalam melakaukan percakapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar