BENTUK
BAHASA KIAS DALAM KARYA SASTRA
(KAJIAN
STILISTIKA BAHASA KIAS DALAM PUISI W.S RENDRA)
Stilistika berasal dari Bahasa Inggris yaitu “Style” yang berarti gaya dan dari bahasa
serapan “linguistic” yang berarti
tata bahasa. Dalam Bunga
Rampai Stilistika, Sudjiman (1993:3) berpengertian bahwa stilistika adalah
mengkaji wacana sastra dengan orientasi lingusitik. Stilistika meneliti ciri
khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra, ciri-ciri yang membedakan atau
mempertimbangkan dengan wacana non sastra, meneliti derivasi terhadap tata
bahasa sebagai sarana literatur, singkatnya stilistika meneliti sastra fungsi
fuitik suatu bahasa. Dalam bab II ini pembahasan tentang bahasa kias dalam
karya sastra akan dibagi menjadi tujuh pembahasan.
2.1 Pengertian Bahasa Kias
Kajian
retorik memilah figurative language
(bahasa figuratif) menjadi dua yaitu figure
of thoughtdan rhetorical figure. Figure of thought membahas bahasa
figuratif yang terkait dengan cara pengolahan dan pembayangan gagasan. Rethorical figure yaitu bahasa figuratif
yang terkait dengan cara penataan dan pengurutan kata-kata dalam kontuksi
kalimat. Istilah bahasa kias dalam pembahasan kali ini merujuk pada figure of thought. Aristoteles dalam
(Aminudin, 1995:227) mengartikan bahasa kias sebagai penggantian kata yang satu
dengan yang lain berdasrkan perbandingan ataupun analogi ciri semantis yang
umum dengan yang umum, yang umum dengan yang khusus, khusus dengan yang khusus.
Perbandingan atau analogi tersebut berlaku secara proposional dalam arti perbandingan
itu memperhatikan potensialitas kata-kata yang diindahkan dalam menggambarkan
citraan maupun gagasan baru.
Menurut Sayuti (2008:195) bahasa kias mencakupi semua jenis
ungkapan yang bermakna lain dengan makna harfiahnya, yang bisa berupa kata,
frasa, ataupun satua sintaksis yang lebih luas. Penggunaan bahasa kias
berfungsi untuk mengungkapkan atau mengekspresikan gagasan dan tujuan yang
disampaikan kepada orang lain. Sejalan dengan pendapat sebelumnya Perrine
(Badrun, 1989:26) menyatakan bahwa bahasa kiasan adalah bahasa yang tidak saja
bermakna harfiah (makna leksikal), jadi dalam hal ini adalah mengiaskan sesuatu
dengan hal lain. Bahasa kiasan sebagai salah satu alat kepuitisan berfungsi
sebagai alat untuk menyatakan sesuatu yang digambarkan dalam puisi menjadi
lebih jelas, hidup, intensif dan menarik.
Dalam bentuk bahasa kias dalam puisi
sajak orang kepanasan WS Rendra “Karena kami
arus kali dan kamu batu tanpa hati” kata kami yang maksudnya adalah
rakyat kecil yang miskin atau kaum proletar sedangkan kamu adalah menunjuka
para pejabat dan orang kaya yang disebut kaum borjuis. Kami diperbandingkan dengan kata arus kali,
penggunan arus kali digunakan karena arus adalah hal tenang yang dapat
menenggelamkan dan mengikis seseuatu tersebut. Mengapa disebut arus kali bukan
arus sungai, atau gelombang laut karena kali identik dengan hal yang kumuh dan
rusuh yang menggambarkan rakyat kecil itu sendiri. Kata kamu diperbndingan
dengan batu karena umumnya orang kaya digambarkan keras dan tidak mempunyai
hati, ketika dimunculkan kata batu maka sifat keraslah yang dimunculkan pada
kamu (kaum borjuis).
Penggunan
kata kias berupa pernyataan juga sering
didengar dalam pecakapan sehari-hari misalnya kata hatiku panas, kupingku
panas, patah hati, remuk jantungku dsb. Misalnya kupingku panas mendengar
berita pereslingkuhanitu kata panas
yang dimunculkan bukan panas pada arti leksikal yang sesungguhnya seperti
terkena api dan sebagainya. Kata panas menggantikan ata kesal, tidak suka atau
marah, sedangkan kupingku berkaitan dengan perasaan. Kata kupingku panas sering
digunakan ketika melibatkan indra pendengar sehingga ketika seseorang mendengar
berita buruk baginya maka hatinya akan merasa kesal atau marah. Contoh lain
misalnya ayah bekerja keras, waktu berjalan dengan cepat, dia menjalani hidup
sendiri. Cotoh metafora diatas
menunjukan bahwa dalam bahasa sehai-hari bahasa kias juga sering digunakan.
Berdasarkan
penjelasan di atas dapat dipahami bahwa bagi Lakoff dan
Jonshon metafora merupkn sifat yang melekat dalam bahasa itu sendiri (Aminudiin
1995:229). Kegunaan metafora itu sendiri terkait dengan pemilihan,
pengkombinasian dan struktur kata-kata dalam untaian teksnya. Namun, kehadian
metafora itu sendiri dapat ditentukan. Kehadiran metafora juga terkait dengan
aktifitas penghubungan antara hasil tanggapan terhadap dunia acuan yang satu
dengan yang lain.
2.2 Pengiasan sebagai Bentuk Kreasi
Batiniah
Berbeda
dengan penggunaan bahasa kias dalam komunikasi sehari-hari yang sudah menjadi
umum bahasa kias dalam karya sastra khususnya dalam puisi merupakan bahasa kias
yang bersifat personal. Bahasa kias bersifat personal yaiu bahasa kias yang
khusus atau yng identik diunakan oleh pengarang tertentu dalam karya sastranya
atau puisinya. Bahasa kias dalam karya sastra merupakan krestifits batiniah
yang berhubungan dengan penuansaan gagasan, pencitraan, pegalaman kultural, dan
konteks kewacanaannya (Aminudin, 1995:235).
H.
Roloff mengemukakan bahwa karakteristik materi karya sastra berantung pada
bentuk performansinya. Bentuk perfomansi tersebut ditinjau dari isinya
dikreasikan dari meteworlds yang merupakan realitas yang mengatasi wujud
kongkret realitasnya sendiri. Misalnya kata daun yang gugur yang menggambarkan
kematian. Pengiasan kematian oleh WS. Rendra digambarkan berbeda olehnya. WS
Rendra menggambarkan kematian dengan kiasan memeluk bumi dalam puisinya
Gugur. Contoh pegiasan dengan wujud yang
konkret terdapat dalam puisi WS Rendra ‘Sajak Orang Kepanasan’
Karena kami makan akar
dan terigu menumpuk di
gudangmu
kata akar dalam puisi
tersebut bukan menunjukan akar dalam arti sebenarnya namun merupakan kiasan
dari singkong, karena secara memiliki ciri semantis yang sama yaitu sama-sama
hal yang terkubur dalam tanah, namun singkong merupakan akar yang digunakan
unttuk menyimpan bahan makan dalam tumbuhan singkong yang nantinya dapat
diambil dan dimakan. Style atau gaya
bahasa yang ditunagkan dalam karya sastra dpat menjadi perwujudan diri
ppengarangnya (Aminudin, 2011: 76)
Pengiasan yang merupakan bentuk
kreasi dari dalam jiwa pengarang, penggunaan metafora pasti diawali presepsi
terhadap dunia acuan maupun gambaran peristiwa yang di metaforiskan. Presepsi
bersifat subjektif, sehingga presepsi dilihat dari sudut pandang diri seseorang
yang belum tentu sama anatar apresepsi satu orang dengan orang lain. Presepsi
dapat disebut juga aktif dan kreatif, karena dalam mempresepsikan sebuah
sesuatu perlu adanya kesadaran atas sesuatu tersebut, adanya aktivitas
berpikir, memerlukan kepekaan atau harus dapat merasakan atas sesuatu tersebut,
serta akivitas menggambarkan ulangg hasil pengamatan sesuatu yang pernah
ditanggapi sejalan dengan sudut pandang yang diberikan.
2.3 Pemilahan Jenis Bahasa Kias
Metafora
sebagai figure of among seperti contoh puisis Chairil Anwar Aku Binatang Jalang tidak sepenuhnya
tepat. Metafora dapat ditemukan dalam figure
of figurality seperti kata air garam yang menggambarkan laut. Sedangkan
laut memang terikat degan air garam. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahasa
kias dibentuk berdasarkan ciri persepsi penutur dan juga dapat terbentuk akibat
adanya hubungan ciri semantis kata yang tetap.
Ulman
(Aminudin 1995:242) membedakan dua bentuk kiasan. Pertama adalah kiasan
metaforik kedua adalah kiasan metonimik . sebenarnya bahasa kias dapat
dibedakan menjadi tiga, yakni (1) metaforik, (2) metonimik, dan (3) ironik. Pertama, kiasan metaforik, yakni kiasan yang bertumpu
pada adanya kesejajaran ciri citraan antara analogon dengan sesuatu yang
dianalogikan. Kedua kiasan yang metonimik, yakni kiasan yang didasarkan pada
hubungan eksternal antara kata yang digantikan dengan yang menggantikan secara
tetap. Kesejajaran pada perbandingan yang metaforik merujuk pada kesejajaran
persepsi suatu realitas. Sedangkan hubungan eksternal yang bersifat tetap
merujuk pada hubungan antara dua kata yang ditinjau dari ciri semantisnya
secara asosiatif memiliki hubungan semantis secara tetap.Kata
perang misalnya secara asosiaif memiliki hubungan semantis dengan senjata.
Ketika terdapat pernyataan kita harus
berani perang melawan keserakahan dapat juga dinyatakan kita harus berani mengangkat senjata dalam melawan keserakahan.
Dalam metafora, dua objek
atau pengertian diperbandingkan secara implisit. Dalam ucapan rumahku
melindungi aku bagaikan sebuah benteng, rumah dibandingkan dengan sebuah
benteng. Benteng disebut pembanding sedangkan rumah unsur yang dibandingkan.
Kata penghubung “bagaikan” berfungsi sebagai mata rantai antara pembanding dan
apa yang dibandingkan. Dalam ucapan tersebut motif tidak disebut secara
eksplisit. Kita sendiri harus mencari aspek kemiripan antara rumah dan benteng,
misalnya, ‘di samping aspek perlindungan dapat juga dibayangkan aspek
kokoh-kuat’. Dalam bentuk metaforis, ungkapan tersebut dapat dinyatakan dalam
ungkapan “rumahku bentengku” atau cukup “bentengku” saja.
Berikut
ini contoh kiasan yang digunakan WS rendra dalam Puisinya Burung Hitam.
Burung Hitam
Burung hitam manis dari hatiku
Betapa cekatan dan rindu sepi syahdu
Burung hitam adalah buah pohonan
Burung hitam di dada adalah bebungaan
Ia minum pada kali yang disayang
Ia tidur di daunan bergoyang
Ia bukanlah dari duka meski si burung hitam
Burung hitam adalah cintaku yang terpendam
WS.Rendra
Burung hitam manis dari hatiku
Betapa cekatan dan rindu sepi syahdu
Burung hitam adalah buah pohonan
Burung hitam di dada adalah bebungaan
Ia minum pada kali yang disayang
Ia tidur di daunan bergoyang
Ia bukanlah dari duka meski si burung hitam
Burung hitam adalah cintaku yang terpendam
WS.Rendra
Burung
hitam manis dari hatiku
Bermakna burung adalah hewan yang perkasa dan bijaksana, sering disebut
binatang yang memiliki sifat setia kepada pasangannya. Hitam adalah bermakna
keberanian, ketenangan, kuat, misteri dan memperlihatkan ketegasan. manis
adalah satu hal yang indah dan rupawan, menyenangkan Sehingga pada baris
pertama bermakna ungkapan jiwa sang penyair yang mempunyai perasaan kepada sang
pujaan hati di dalam hatinya, dia memiliki keberanian yang kuat dan dengan
kesetiaan dia mengungkapkan perasaannya itu sehingga terasa manis ataupun
menyenangkan.
Di dalam wacana puisi,
metafora-metafora sering berbelit-belit. Ini antara lain disebabkan karena apa
yang dibandingkan harus disimpulkan dari konteks. Misalnya ungkapan
Lorong-lorong tidur yang tuli mengandung metafora ganda. Metafora ganda ini
diuraikan dulu menjadi dua, yaitu ‘lorong tidur’ dan ‘lorong tuli’. Kemudian
kita meneliti kata-kata itu menurut arti harfiah dan kiasan. Mengingat
konteksnya, maka ‘lorong tuli’ rupanya dipakai menurut arti kiasan, sedangkan
‘tidur’ menurut arti harfiah. Kalau kita tinjau ‘lorong tuli’ tersendiri, maka
‘lorong’ dapat dianggap sebagai unsur harfiah, sedangkan ‘tuli’ sebagai sebuah
metafora. Kemudian kita berusaha menetapkan apa yang diperbandingkan, artinya
mencari kata-kata lain sebagai pengganti ‘tuli’ dan ‘lorong’ sehingga terjadi
suatu ungkapan yang menurut arti harfiah mempunyai arti. ‘Lorong tuli’ mungkin bisa
ditafsirkan sebagai lorong-lorong yang tertutup bagi kenyataan, seperti
orang-orang tuli juga terpisah dari lingkungannya. ‘Lorong tidur’ dapat
diartikan sebagai kawasan yang kita lintasi waktu tidur (bermimpi). Jadi apa
yang dibandingkan ialah ‘bagian mimpi yang terpisah dari kenyataan’.
Pembedaan metafora dengan
metonimi dalam beberapa kasus dapat ditentukan berdasarkan ciri hubungannya
dengan kata yang diperbandingkan atau digantikan. Pada hubungan yang metaforis
penentuannya dapat dilakukan dengan melihat karakteristik hubungan kemungkinan
kata yang diperbandingkan secara paradig-matis. Pernyataan Berkakuan kapal di
pelabuhan, misalnya, mengandaikan “kapal” secara paradigmatis dapat digantikan
dengan kata “tubuh”, pernyataan itu dapat dikomposisikan menjadi “Berkakuan
tubuh di pelabuhan”. Pernyataan yang metonimik hanya merujuk pada hubungan
secara sintagmatis, dalam arti antara kata yang menggantikan itu tidak dapat
membentuk hubungan secara paradigmatis.
Bentuk pernyataan yang juga
digolongkan sebagai bahasa kias ialah ironi. Kata ironi berasal dari eiron yang
berarti ‘penyembunyian’, ‘penipuan’, ‘pura-pura’. Dengan demikian pernyataan
yang secara tersembunyi mengan-dung pengertian lain selain yang secara
eksplisit dinyatakan merupakan ironi. Dalam ironi penyampaian pengertian secara
tidak langsung itu dinyatakan melalui penggunaan kata/kata-kata yang ditinjau
dari ciri semantisnya bertentangan atau mungkin memiliki acuan lain yang
memiliki hubungan asosiatif. Bahasa kias yang ironik ini merupakan wujud
pasemon dalam wacana puisi.
2.4 Bentuk Pemahaman Bahasa Kias
dalam Karya Sastra
Pemahaman
bahasa kias dalam wacana puisi merupakan kegiatan ‘pemberian makna’ pada
bentuk, citraan yang ditampilkan, gagasan yang dinuansakan, karakteristik
hubungannya dengan unsur lain dalam satuan teksnya, dan kemungkinan efeknya
bagi pembaca. Agar memperoleh
gambaran mengenai bentuk bahasa kias, pembaca perlu membaca puisi secara
keseluruhan. Melalui kegiatan membaca, pembaca selain memperoleh gambaran
untaian isi puisi diharapkan juga dapat memperoleh gambaran kemungkinan
segmentasi bahasa kias sesuai dengan satuan konstruksinya, hubungan antara
satuan bahasa kias itu dengan unsur lain dalam satuan teksnya, hubungan makna
kata-kata yang satu dengan yang lain secara asosiatif, sebaran penggunaan
bahasa kias dalam wacana puisi, dan karakteristik penggunaan bahasa kias dalam
wacana puisi.
Bahasa
kias secara esensial berhubungan dengan perbandingan maupun penghubungan ciri
dunia acuan berdasarkan tanggapan terhadap hasil pengamatan suatu realitas secara normal, kedua kesejajaran
hubungan secara tetap maupun percampuran ciri dunia acuan secara tetap, ketiga
penggarapan medan ciri semantis kata-kata yang pada dasarnya tidak daat
diepaskn dari objek yang diacu keempat bahasa kias berhubungan dengan dunia
pengalaman maupun konteks sosial budaya.
2.5 Bahasa Kias dalam Puisi Sajak Rajawali Karya W.S
Rendra
Salah
satu unsur kepuitisan yang lain, untuk mendapatkan kepuitisan ialah bahasa
kiasan (figurative language). Menurut
Aminuddin (2011:227) kajian retorik memilah figurative
language (bahasa figuratif) menjadi dua jenis, yakni (1) figure of thought, yaitu bahasa
figuratif yang terkait dengan cara pengolahan dan pembayangan gagasan, dan (2) rhetorical figure, yaitu bahasa
figuratif yang terkait dengan cara penataan dan pengurutan kata-kata
dalam konstruksi kalimat. Pemakaian kiasan oleh penyair dalam sebuah puisi pada
dasarnya bertujuan agar dapat membantu dan merangsang imajinasi atau daya
bayang pembaca untuk melukiskan apa yang sedang dibacanya itu dalam angan-angan
sendiri. Adanya bahasa kiasan ini menyebabkan sajak menjadi menarik perhatian,
menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan gambaran
angan. Bahasa kiasan ini mengiaskan atau menyamakan sesuatu hal dengan hal lain
agar gambaran jelas, lebih menarik, dan hidup.
Jenis
bahasa kias ada bermacam-macam. Jenis-jenis bahasa kiasan yang termasuk bahasa
figuratif tersebut adalah perbandingan (simile),
metafora, perumpamaan epos (epic simile),
personifikasi, metonimi, sinekdoki (synecdoche),
dan allegori. Dari semua jenis tersebut, sebenarnya mempunyai sifat yang umum,
yaitu bahasa-bahasa kiasan tersebut mengaitkan sesuatu dengan cara
menghubungkannya dengan sesuatu yang lain. Untuk mengetahui penerapan bahasa
kias dalam sebuah puisi, berikut dipaparkan contoh puisi karya W.S Rendra dengan judul “Sajak Rajawali”.
SAJAK RAJAWALI
sebuah sangkar besi
tidak bisa mengubah rajawali
menjadi seekor burung nuri
rajawali adalah pacar langit
dan di dalam sangkar besi
rajawali merasa pasti
bahwa langit akan selalu menanti
langit tanpa rajawali
adalah keluasan dan kebebasan tanpa sukma
tujuh langit, tujuh rajawali
tujuh cakrawala, tujuh pengembara
rajawali terbang tinggi memasuki sepi
memandang dunia
rajawali di sangkar besi
duduk bertapa
mengolah hidupnya
hidup adalah merjan-merjan kemungkinan
yang terjadi dari keringat matahari
tanpa kemantapan hati rajawali
mata kita hanya melihat matamorgana
rajawali terbang tinggi
membela langit dengan setia
dan ia akan mematuk kedua matamu
wahai, kamu, pencemar langit yang durhaka
Secara keseluruhan puisi Sajak
Rajawali mempergunakan bahasa kiasan berupa alegori. Alegori adalah metafora
dalam bentuk panjang. Puisi ini berisi berisi kata kiasan. Dari awal hingga akhir
puisi ini bercerita tentang rajawali. Puisi berisi kiasan bagi orang yang
berpandangan luas, berpikiran maju, memiliki keberanian luar biasa, dan seorang
pembela kebenaran. Pendeknya, dalam puisi ini diceritakan secara kias seorang
pejuang kemerdekaan atau kebebasan.Hal tersebut tercermin dari bait puisi
seperti kutipan berikut.
Rajawali
terbang tinggi
membela
langit dengan setia
Dalam puisi ini terdapat juga bahasa kiasan berupa
personifikasi/pengorangan. Hal ini ditunjukkan bait kedua, yaitu “Rajawali
adalah pacar langit” dan bait keempat, yaitu Rajawali di sangkar besi/duduk
bertapa/mengolah hidupnya. Bahasa kiasan dalam puisi ini dipergunakan untuk
menyampaikan ide meraih kebebasan berbuat dan menyampaikan buah pikiran
meskipun berisiko masuk penjara (sangkar besi).
Dari judulnya, tampak bahwa penyair cermat dalam memilih
kata. Sajak Rajawali, kata pertama dalam judul tersebut diawali bunyi desis /s/
dan diakhiri bunyi tutup /k/. Keduanya merupakan bunyi tidak merdu dan
menimbulkan rasa sesak. Kata kedua, rajawali mengandung bunyi merdu /i/.
Kombinasi kata-kata itu terasa pas sesuai isi puisi yang membicarakan kebebasan
yang bertentangan dengan keterkungkungan.
Kata sajak dalam puisi itu tidak bisa digantikan kata lain
sebagai sinonimnya, yaitu puisi. Demikian pula kata rajawali tidak bisa
digantikan dengan kata garuda, misalnya. Kata garuda sudah melekat dengan kata
lain yang berhubungan dengan negara Indonesia, yaitu Garuda Pancasila. Kata
rajawali lebih mewakili isi keseluruhan yang berbicara tentang pentingnya
kebebasan seperti: bebas pergi ke mana saja, menentukan pilihan tempat tinggal,
menentukan sendiri makanan yang hendak dimakannya, memiliki fisik kuat, mata
tajam yang dengan mata itu ia dapat mengetahui luasnya dunia.
Dari awal sampai akhir puisi tersebut, kata-kata terpilih
secara cermat dan tepat untuk menimbulkan semangat meraih kebebasan. Hal itu
tampak pada penggunaan kata : sangkar besi, rajawali, burung nuri, keringat
matahari, kemantapan hati, rajawali, terbang tinggi, membela langit langit,dan
sebagainya.
2.6
Penggunaan Bahasa Kias dalam Puisi
Pemahaman bahasa kias dalam wacana puisi
merupakan kegiatan pemberian makna pada bentuk, citraan yang ditampilkan,
gagasan yang dinuansakan, karakteristik hubungannya dengan unsur lain dalam
satuan teksnya, dan kemungkinan efeknya bagi pembaca. Untuk memperoleh gambaran mengenai bentuk bahasa
kias, pembaca perlu membaca puisi secara keseluruhan. Melalui kegiatan membaca,
pembaca selain memperoleh gambaran untaian isi puisi diharapkan juga dapat
memperoleh gambaran kemungkinan segmentasi bahasa kias sesuai dengan satuan
konstruksinya, hubungan antara satuan bahasa kias itu dengan unsur lain dalam
satuan teksnya, hubungan makna kata-kata yang satu dengan yang lain secara
asosiatif, sebaran penggunaan bahasa kias dalam wacana puisi, dan karakteristik
penggunaan bahasa kias dalam wacana puisi. Sebagai berikut terdapat contoh
puisi karya W. S Rendra yang menggunakan bahasa kias.
Mata
anjing penuh sinar nafsu maling.
Bila malam jahat di langit penuh mata anjing.
Sorot mata penuh duga dan cedera
maksud-maksud dalam kedok dan kata bermakna dua.
Mata anjing muncul di malam tak terelakkan.
Mata anjing menatap dengan rahasia tanpa ungkapan.
Wahai, Gadis yang tak kucinta dan menangis berguling
dalam ciuman kulihat padamu dua sorot mata anjing.
Bila malam jahat di langit penuh mata anjing.
Sorot mata penuh duga dan cedera
maksud-maksud dalam kedok dan kata bermakna dua.
Mata anjing muncul di malam tak terelakkan.
Mata anjing menatap dengan rahasia tanpa ungkapan.
Wahai, Gadis yang tak kucinta dan menangis berguling
dalam ciuman kulihat padamu dua sorot mata anjing.
Terjadinya penggantian arti ini
karena digunakannya bahasa kiasan di dalam karya sastra. Dalam puisi Mata Anjing karya W.S Rendra ini bahasa
kias yang sering muncul adalah metonimi. Adapun metonimiadalah bahasa kias
berupa penggunaan sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang
sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut.
Penggantian
arti dalam puisi ini dapat langsung dilihat pada baris pertama, bait pertama, Mata anjing penuh sinar nafsu maling adalah
metonimi yang bermakna seorang laki-laki mata keranjang di dalam sorot matanya
sangat terlihat nafsu ingin mencuri (mengambil apa yang tidak seharusnya dia
ambil). Mata anjing di sini diumpamakan sebagai sorot mata laki-laki mata
keranjang. Bila malam jahat di langit
penuh mata anjing, bermakna pada saat tengah malam lebih banyak lagi
laki-laki mata keranjang yang muncul di setiap tempat. Malam jahat dan langit juga
merupakan metonimi, malam jahat berarti tengah malam karena pada saat tengah
malam telah banyak orang yang tertidur sehingga kejahatan lebih banyak terjadi
pada saat tengah malam. Adapun langit itu menaungi seluruh dunia dan bermakna
luas, sehingga dapat dikatakan meliputi semua tempat. Sorot mata penuh duga dan cedera bermakna orang-orang yang melihat
mereka akan dapat menduga dan mengerti bahwa akan mereka akan menorehkan sebuah
luka lagi (penderitaan). Maksud-maksud
dalam kedok dan kata bermakna dua berarti apa yang dilakukan dan dikatakan
oleh para laki-laki mata keranjang tersebut tidak dapat dipercayai.
Bait
kedua, Mata anjing mencul di malam tak
terelakkan ingin mengungkapkan bahwa kehadiran para laki-laki mata
keranjang tersebut idak dapat dihindari ataupun dicegah. Mata anjing menatap dengan rahasia tanpa ungkapan bermakna bahwa
kita sudah dapat mengerti apa yang diinginkan para laki-laki tersebut tanpa
mereka ungkapkan secara terang-terangan karena keinginan mereka itu terlihat
jelas dalam sorot matanya. Wahai, Gadis
yang tak kucinta dan menangis berguling dalam ciuman kulihat padamu dua sorot
mataanjing, bermakna para gadis-gadis yang bahkan yang tak dikenal, mereka
menangis dengan penuh penderitaan dalam dekapan para laki-laki mata keranjang
yang hanya ingin memuaskan nafsu mereka. Pada dua baris terakhir ini, pengarang
ingin memperingatkan para gadis yanga bahkan tak dikenalnya untuk berhati-hati
dan inilah cedera yang dimaksud oleh
pengarang pada baris ke tiga bait pertama dia atas.
Penciptaan
arti dipengaruhi oleh sajak (rima), enjambemen, dan tipografi. Sajak (rima)
adalah persamaan bunyi akhir kata. Bunyi ini berulang secara terpola dan
biasanya terdapat di akhir baris saja, tetapi kadang-kadang terletak di awal
atau di tengah baris. Enjambemen adalah kata atau frasa atau baris puisi yang
berfungsi ganda yakni menghubungkan bagian yang mendahului dengan bagian yang
mengikutinya. Artinya, sebuah kelompok kata dipenggal, dan penggalannya
dipindah ke baris berikutnya. Tipografi merupakan aspek bentuk visual puisi
yang berupa tata hubungan dan tata baris. Tipografi kadang disebut sebagai
susunan baris puisi dan ada pula yang menyebutnya sebagai ukiran bentuk.
Tipografi dalam puisi dipergunakan untuk mendapatkan bentuk yang menarik supaya
indah dipandang oleh pembaca. Adapun dalam puisi Mata Anjing di atas,
penciptaan arti yang terjadi adalah sajak (rima) dan enjambemen.
Dalam
puisi tersebut, Rendra menggunakan sajak ab-ab. Hal ini selain sebagai
keindahan namun juga sebagai penegas kalimat sebelumnya. Kalimat ke dua lebih
menegaskan kalimat pertama, kalimat ke empat menegaskan kalimat ke tiga, dan
bergitu seterusnya, kalimat genap menjelaskan kalimat ganjil. Hal tersebut
dapat digambarkan seperti pada baris pertama dan kedua ini: Mata anjing penuh
sinar nafsu maling yang hadir pada malam jahat. Pada bait ke dua baris pertama
dan ke dua: Mata anjing muncul di malam tak terelakkan dan menatap dengan
rahasia tanpa ungkapan.
Namun,
tidak semua pengarang menggunakan ciri khas yang sama seperti pada puisi W.S
Rendra. Misalnya pada puisi “Tentang Sebuah Gerakan” karya Wiji Tukul sebagai berikut.
Tentang sebuah gerakan
Karya Wiji
Thukul
tadinya aku pengin bilang
aku butuh rumah
tapi lantas kuganti
dengan kalimat:
setiap orang butuh tanah
ingat: setiap orang!
aku berpikir tentang
sebuah gerakan
tapi mana mungkin
aku nuntut sendirian?
aku bukan orang suci
yang bisa hidup dari sekepal nasi
dan air sekendi
aku butuh celana dan baju
untuk menutup kemaluanku
aku berpikir tentang gerakan
tapi mana mungkin
kalau diam?
1989
Membaca
puisi Wiji Tukul sangat berbeda ketika membaca puisi WS. Rendra. Kata kias yang
dipilih Wiji Tukul pun terlihat berbeda dengan kata kias yang dipilih WS.
Rendra. Wiji Tukul menggunakan kiasan yang tidak jauh dari makna aslinya,
misalnya “gerakan” pada puisi di atas lebih bermakna sebagai perlawanan untu
terus maju membela keadilan. Sangat mudah memahami isi puisinya.
Selain
bahasa kias, keindahan lainnya adalah bunyi yang muncul pada puisi tersebut. Euphony merupakan salah satu ragam bunyi
yang mampu menuansakan suasana keriangan, maupun gerak. Hal ini seleras dengan
Sayuti (2008:122) yang mengatakan bahwa efoni adalah “suatu kombinasi vokal
konsonan yang berfungsi melancarkan ucapan, mempermudah pemahaman arti dan
bertujuan untuk mempercepat irama baris yang mengandungnya”. Pada hal ini bunyi
euphony umumnya berupa bunyi-bunyi
vokal.
Pada puisi
Wiji Thukul terdapat bunyi eufoni pada bait ketiga yang menggunakan bunyi vokal
i dan u.
aku bukan orang suci
yang bisa hidup dari sekepal nasi
dan air sekendi
aku butuh celana dan baju
untuk menutup kemaluanku
Pada bait
ini Wiji Thukul ingin menyampaikan rasa kepedulian dan kasih sayangnya pada
masyarakat yang kurang mendapat perhatian. Pada bait ini Wiji Thukul
menggunakan eufoni karena untuk mempermudah arti dan bertujuan untuk
mempercepat irama ketika pembaca memaknai puisinya. Sehingga pesan-pesan yang
dituliskan dapat terbaca secara gamblang dan mudah dipahami oleh orang-orang
awam.
2.7
Bahasa Kias dalam Prosa Fiksi
Sebuah karya sastra
pada hakekatnya merupakan suatu reaksi terhadap suatu keadaan. Sastra merupakan
kristalisasi nilai dan pengalaman hidup. Sastra menampilkan gambaran kehidupan
dan kehidupan adalah kenyatan budaya (Damono dalam Najid, 2003:9). Dalam kehidupan
keseharian pula, pada umumnya orang menyukai sastra. Kata-kata mutiara,
ungkapan-ungkapan yang bersifat persuasif yang merupakan salah satu ciri khas
keindahan bahasa sastra sering kali digunakan orang dalam situasi
berkomunikasi. Bahasa adalah seni sastra yang dapat disamakan
dengan cat dalam seni lukis. Keduanya merupakan unsur bahan, alat, sarana, yang
diolah untuk dijadikan sebuah karya yang mengandung “nilai lebih” daripada
sekedar bahannya itu sendiri. Bahasa merupakan sarana pengungkapan sastra.
Sastra, khususnya fiksi, di samping sering disebut dunia dalam kemungkinan,
juga dikatakan sebagai dunia dalam kata. Hal ini disebabkan dunia yang
menciptakan, dibangun, ditawarkan sekaligus ditafsirkan lewat kata-kata, lewat
bahasa.. apapun yang akan dikatakan pengarang atau sebaliknya ditafsirkan oleh
pembaca dan harus bersangkut paut dengan bahasa.
Bahasa sebagai sarana
mengungkapkan sastra. Di pihak lain sastra lebih dari sekadar bahasa, deretan
kata atau kalimat, namun unsur kelebihannya itupun hanya dapat diungkapkan dan
ditafsirkan memulai bahasa. Jika sastra dikatakan ingin menyampaikan sesuatu,
mendialogkan sesuatu, sesuatu tersebut hanya dapat dikomunikasikan lewat sarana
bahasa. Untuk memahami lebih dalam bahasa kias dalam prosa fiksi, berikut terdapat
contoh kutipan pada novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman.
Matahari berpijar di tengah petala langit.
(hal 2)
Pada penggalan kutipan tersebut terdapat ungkapan petala langit yang berarti
tingkatan langit yang paling tinggi sehingga kedudukan matahari disamakan
dengan petala langit yang tingkatnya tinggi dan jauh. Penggalan teks tersebut
bergaya bahasa metafora. Gaya bahasa metafora adalah gaya bahasa yang
membandingkan dua hal secara langsung yang memiliki sifat yang sama, tetapi
dalam bentuk singkat. Dalam novel AAC
ditemukan penggalan teks yang berisi kalimat bergaya bahasa perumpaman.
Berikut penggalan teks yang berisi
kalimat bergaya bahasa perumpamaan atau simile.
Tengah hari
ini Kota Cairo seakan membara
(hal 2).
Dalam penggalan
teks tersebut terdapat gaya bahasa
perumpamaan atau simile. Hal ini ditandai dengan adanya kata hubung
seakan. Kata seakan adalah ciri dari gaya bahasa ini.
DAFTAR RUJUKAN
Aminuddin. 1995. Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang:
IKIP Semarang Press.
Aminuddin. 2011. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Badrun, Ahmad. 1989. Teori Puisi. Jakarta : Departeen Pendidikan dan Kebudayaan.
Dimas, Mihardja. 2011. Bahasa Kias dalam
Puisi. [online]. http://tamanpendidikandimasar.
blogspot.com/2011/02/bahasa-kias-dalam-puisi.html. Diakses
Pada 31 Maret 2015.
Najid, Moh & Damono. 2003. Mengenal
Apresiasi Prosa Fiksi. Surabaya: Unversity Press.
Sayuti. 2008. Berkenalan dengan Puisi. Yogyakarta: Gama Media.
Sudjiman, Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta :
Pustaka Utama Grafiti.
kumpulan puisinya sangat bagus
BalasHapus