Rabu, 13 Mei 2015

Bahasa Kias dalam Puisi WS REndra


BENTUK BAHASA KIAS DALAM KARYA SASTRA
(KAJIAN STILISTIKA BAHASA KIAS DALAM PUISI W.S RENDRA)

Stilistika berasal dari Bahasa Inggris yaitu “Style” yang berarti gaya dan dari bahasa serapan “linguistic” yang berarti tata bahasa. Dalam  Bunga Rampai Stilistika, Sudjiman (1993:3) berpengertian bahwa stilistika adalah mengkaji wacana sastra dengan orientasi lingusitik. Stilistika meneliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra, ciri-ciri yang membedakan atau mempertimbangkan dengan wacana non sastra, meneliti derivasi terhadap tata bahasa sebagai sarana literatur, singkatnya stilistika meneliti sastra fungsi fuitik suatu bahasa. Dalam bab II ini pembahasan tentang bahasa kias dalam karya sastra akan dibagi menjadi tujuh pembahasan.
2.1 Pengertian Bahasa Kias
Kajian retorik memilah figurative language (bahasa figuratif) menjadi dua yaitu figure of thoughtdan rhetorical figure. Figure of thought membahas bahasa figuratif yang terkait dengan cara pengolahan dan pembayangan gagasan. Rethorical figure yaitu bahasa figuratif yang terkait dengan cara penataan dan pengurutan kata-kata dalam kontuksi kalimat. Istilah bahasa kias dalam pembahasan kali ini merujuk pada figure of thought. Aristoteles dalam (Aminudin, 1995:227) mengartikan bahasa kias sebagai penggantian kata yang satu dengan yang lain berdasrkan perbandingan ataupun analogi ciri semantis yang umum dengan yang umum, yang umum dengan yang khusus, khusus dengan yang khusus. Perbandingan atau analogi tersebut berlaku secara proposional dalam arti perbandingan itu memperhatikan potensialitas kata-kata yang diindahkan dalam menggambarkan citraan maupun gagasan baru.
Menurut Sayuti (2008:195) bahasa kias mencakupi semua jenis ungkapan yang bermakna lain dengan makna harfiahnya, yang bisa berupa kata, frasa, ataupun satua sintaksis yang lebih luas. Penggunaan bahasa kias berfungsi untuk mengungkapkan atau mengekspresikan gagasan dan tujuan yang disampaikan kepada orang lain. Sejalan dengan pendapat sebelumnya Perrine (Badrun, 1989:26) menyatakan bahwa bahasa kiasan adalah bahasa yang tidak saja bermakna harfiah (makna leksikal), jadi dalam hal ini adalah mengiaskan sesuatu dengan hal lain. Bahasa kiasan sebagai salah satu alat kepuitisan berfungsi sebagai alat untuk menyatakan sesuatu yang digambarkan dalam puisi menjadi lebih jelas, hidup, intensif dan menarik.
Dalam bentuk bahasa kias dalam puisi sajak orang kepanasan WS Rendra “Karena kami arus kali dan kamu batu tanpa hati” kata kami yang maksudnya adalah rakyat kecil yang miskin atau kaum proletar sedangkan kamu adalah menunjuka para pejabat dan orang kaya yang disebut kaum borjuis.  Kami diperbandingkan dengan kata arus kali, penggunan arus kali digunakan karena arus adalah hal tenang yang dapat menenggelamkan dan mengikis seseuatu tersebut. Mengapa disebut arus kali bukan arus sungai, atau gelombang laut karena kali identik dengan hal yang kumuh dan rusuh yang menggambarkan rakyat kecil itu sendiri. Kata kamu diperbndingan dengan batu karena umumnya orang kaya digambarkan keras dan tidak mempunyai hati, ketika dimunculkan kata batu maka sifat keraslah yang dimunculkan pada kamu (kaum borjuis).
Penggunan kata kias berupa pernyataan  juga sering didengar dalam pecakapan sehari-hari misalnya kata hatiku panas, kupingku panas, patah hati, remuk jantungku dsb. Misalnya kupingku panas mendengar berita pereslingkuhanitu kata panas yang dimunculkan bukan panas pada arti leksikal yang sesungguhnya seperti terkena api dan sebagainya. Kata panas menggantikan ata kesal, tidak suka atau marah, sedangkan kupingku berkaitan dengan perasaan. Kata kupingku panas sering digunakan ketika melibatkan indra pendengar sehingga ketika seseorang mendengar berita buruk baginya maka hatinya akan merasa kesal atau marah. Contoh lain misalnya ayah bekerja keras, waktu berjalan dengan cepat, dia menjalani hidup sendiri.  Cotoh metafora diatas menunjukan bahwa dalam bahasa sehai-hari bahasa kias juga sering digunakan.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa bagi Lakoff dan Jonshon metafora merupkn sifat yang melekat dalam bahasa itu sendiri (Aminudiin 1995:229). Kegunaan metafora itu sendiri terkait dengan pemilihan, pengkombinasian dan struktur kata-kata dalam untaian teksnya. Namun, kehadian metafora itu sendiri dapat ditentukan. Kehadiran metafora juga terkait dengan aktifitas penghubungan antara hasil tanggapan terhadap dunia acuan yang satu dengan yang lain.
2.2 Pengiasan sebagai Bentuk Kreasi Batiniah
Berbeda dengan penggunaan bahasa kias dalam komunikasi sehari-hari yang sudah menjadi umum bahasa kias dalam karya sastra khususnya dalam puisi merupakan bahasa kias yang bersifat personal. Bahasa kias bersifat personal yaiu bahasa kias yang khusus atau yng identik diunakan oleh pengarang tertentu dalam karya sastranya atau puisinya. Bahasa kias dalam karya sastra merupakan krestifits batiniah yang berhubungan dengan penuansaan gagasan, pencitraan, pegalaman kultural, dan konteks kewacanaannya (Aminudin, 1995:235).
H. Roloff mengemukakan bahwa karakteristik materi karya sastra berantung pada bentuk performansinya. Bentuk perfomansi tersebut ditinjau dari isinya dikreasikan dari meteworlds yang merupakan realitas yang mengatasi wujud kongkret realitasnya sendiri. Misalnya kata daun yang gugur yang menggambarkan kematian. Pengiasan kematian oleh WS. Rendra digambarkan berbeda olehnya. WS Rendra menggambarkan kematian dengan kiasan memeluk bumi dalam puisinya Gugur.  Contoh pegiasan dengan wujud yang konkret terdapat dalam puisi WS Rendra ‘Sajak Orang Kepanasan’
Karena kami makan akar
dan terigu menumpuk di gudangmu
kata akar dalam puisi tersebut bukan menunjukan akar dalam arti sebenarnya namun merupakan kiasan dari singkong, karena secara memiliki ciri semantis yang sama yaitu sama-sama hal yang terkubur dalam tanah, namun singkong merupakan akar yang digunakan unttuk menyimpan bahan makan dalam tumbuhan singkong yang nantinya dapat diambil dan dimakan. Style atau gaya bahasa yang ditunagkan dalam karya sastra dpat menjadi perwujudan diri ppengarangnya (Aminudin, 2011: 76)
            Pengiasan yang merupakan bentuk kreasi dari dalam jiwa pengarang, penggunaan metafora pasti diawali presepsi terhadap dunia acuan maupun gambaran peristiwa yang di metaforiskan. Presepsi bersifat subjektif, sehingga presepsi dilihat dari sudut pandang diri seseorang yang belum tentu sama anatar apresepsi satu orang dengan orang lain. Presepsi dapat disebut juga aktif dan kreatif, karena dalam mempresepsikan sebuah sesuatu perlu adanya kesadaran atas sesuatu tersebut, adanya aktivitas berpikir, memerlukan kepekaan atau harus dapat merasakan atas sesuatu tersebut, serta akivitas menggambarkan ulangg hasil pengamatan sesuatu yang pernah ditanggapi sejalan dengan sudut pandang yang diberikan.
2.3 Pemilahan Jenis Bahasa Kias
Metafora sebagai figure of among seperti contoh puisis Chairil Anwar Aku Binatang Jalang tidak sepenuhnya tepat. Metafora dapat ditemukan dalam figure of figurality seperti kata air garam yang menggambarkan laut. Sedangkan laut memang terikat degan air garam. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahasa kias dibentuk berdasarkan ciri persepsi penutur dan juga dapat terbentuk akibat adanya hubungan ciri semantis kata yang tetap.
Ulman (Aminudin 1995:242) membedakan dua bentuk kiasan. Pertama adalah kiasan metaforik kedua adalah kiasan metonimik . sebenarnya bahasa kias dapat dibedakan menjadi tiga, yakni (1) metaforik, (2) metonimik, dan (3) ironik. Pertama, kiasan metaforik, yakni kiasan yang bertumpu pada adanya kesejajaran ciri citraan antara analogon dengan sesuatu yang dianalogikan. Kedua kiasan yang metonimik, yakni kiasan yang didasarkan pada hubungan eksternal antara kata yang digantikan dengan yang menggantikan secara tetap. Kesejajaran pada perbandingan yang metaforik merujuk pada kesejajaran persepsi suatu realitas. Sedangkan hubungan eksternal yang bersifat tetap merujuk pada hubungan antara dua kata yang ditinjau dari ciri semantisnya secara asosiatif memiliki hubungan semantis secara tetap.Kata perang misalnya secara asosiaif memiliki hubungan semantis dengan senjata. Ketika terdapat pernyataan kita harus berani perang melawan keserakahan  dapat juga dinyatakan kita harus berani mengangkat senjata dalam melawan keserakahan.
Dalam metafora, dua objek atau pengertian diperbandingkan secara implisit. Dalam ucapan rumahku melindungi aku bagaikan sebuah benteng, rumah dibandingkan dengan sebuah benteng. Benteng disebut pembanding sedangkan rumah unsur yang dibandingkan. Kata penghubung “bagaikan” berfungsi sebagai mata rantai antara pembanding dan apa yang dibandingkan. Dalam ucapan tersebut motif tidak disebut secara eksplisit. Kita sendiri harus mencari aspek kemiripan antara rumah dan benteng, misalnya, ‘di samping aspek perlindungan dapat juga dibayangkan aspek kokoh-kuat’. Dalam bentuk metaforis, ungkapan tersebut dapat dinyatakan dalam ungkapan “rumahku bentengku” atau cukup “bentengku” saja.
Berikut ini contoh kiasan yang digunakan WS rendra dalam Puisinya Burung Hitam.
Burung Hitam

Burung hitam manis dari hatiku
Betapa cekatan dan rindu sepi syahdu
Burung hitam adalah buah pohonan
Burung hitam di dada adalah bebungaan
Ia minum pada kali yang disayang
Ia tidur di daunan bergoyang
Ia bukanlah dari duka meski si burung hitam
Burung hitam adalah cintaku yang terpendam
WS.Rendra

Burung hitam manis dari hatiku Bermakna burung adalah hewan yang perkasa dan bijaksana, sering disebut binatang yang memiliki sifat setia kepada pasangannya. Hitam adalah bermakna keberanian, ketenangan, kuat, misteri dan memperlihatkan ketegasan. manis adalah satu hal yang indah dan rupawan, menyenangkan Sehingga pada baris pertama bermakna ungkapan jiwa sang penyair yang mempunyai perasaan kepada sang pujaan hati di dalam hatinya, dia memiliki keberanian yang kuat dan dengan kesetiaan dia mengungkapkan perasaannya itu sehingga terasa manis ataupun menyenangkan.
Di dalam wacana puisi, metafora-metafora sering berbelit-belit. Ini antara lain disebabkan karena apa yang dibandingkan harus disimpulkan dari konteks. Misalnya ungkapan Lorong-lorong tidur yang tuli mengandung metafora ganda. Metafora ganda ini diuraikan dulu menjadi dua, yaitu ‘lorong tidur’ dan ‘lorong tuli’. Kemudian kita meneliti kata-kata itu menurut arti harfiah dan kiasan. Mengingat konteksnya, maka ‘lorong tuli’ rupanya dipakai menurut arti kiasan, sedangkan ‘tidur’ menurut arti harfiah. Kalau kita tinjau ‘lorong tuli’ tersendiri, maka ‘lorong’ dapat dianggap sebagai unsur harfiah, sedangkan ‘tuli’ sebagai sebuah metafora. Kemudian kita berusaha menetapkan apa yang diperbandingkan, artinya mencari kata-kata lain sebagai pengganti ‘tuli’ dan ‘lorong’ sehingga terjadi suatu ungkapan yang menurut arti harfiah mempunyai arti. ‘Lorong tuli’ mungkin bisa ditafsirkan sebagai lorong-lorong yang tertutup bagi kenyataan, seperti orang-orang tuli juga terpisah dari lingkungannya. ‘Lorong tidur’ dapat diartikan sebagai kawasan yang kita lintasi waktu tidur (bermimpi). Jadi apa yang dibandingkan ialah ‘bagian mimpi yang terpisah dari kenyataan’.
Pembedaan metafora dengan metonimi dalam beberapa kasus dapat ditentukan berdasarkan ciri hubungannya dengan kata yang diperbandingkan atau digantikan. Pada hubungan yang metaforis penentuannya dapat dilakukan dengan melihat karakteristik hubungan kemungkinan kata yang diperbandingkan secara paradig-matis. Pernyataan Berkakuan kapal di pelabuhan, misalnya, mengandaikan “kapal” secara paradigmatis dapat digantikan dengan kata “tubuh”, pernyataan itu dapat dikomposisikan menjadi “Berkakuan tubuh di pelabuhan”. Pernyataan yang metonimik hanya merujuk pada hubungan secara sintagmatis, dalam arti antara kata yang menggantikan itu tidak dapat membentuk hubungan secara paradigmatis.
Bentuk pernyataan yang juga digolongkan sebagai bahasa kias ialah ironi. Kata ironi berasal dari eiron yang berarti ‘penyembunyian’, ‘penipuan’, ‘pura-pura’. Dengan demikian pernyataan yang secara tersembunyi mengan-dung pengertian lain selain yang secara eksplisit dinyatakan merupakan ironi. Dalam ironi penyampaian pengertian secara tidak langsung itu dinyatakan melalui penggunaan kata/kata-kata yang ditinjau dari ciri semantisnya bertentangan atau mungkin memiliki acuan lain yang memiliki hubungan asosiatif. Bahasa kias yang ironik ini merupakan wujud pasemon dalam wacana puisi.
2.4 Bentuk Pemahaman Bahasa Kias dalam Karya Sastra
Pemahaman bahasa kias dalam wacana puisi merupakan kegiatan ‘pemberian makna’ pada bentuk, citraan yang ditampilkan, gagasan yang dinuansakan, karakteristik hubungannya dengan unsur lain dalam satuan teksnya, dan kemungkinan efeknya bagi pembaca. Agar memperoleh gambaran mengenai bentuk bahasa kias, pembaca perlu membaca puisi secara keseluruhan. Melalui kegiatan membaca, pembaca selain memperoleh gambaran untaian isi puisi diharapkan juga dapat memperoleh gambaran kemungkinan segmentasi bahasa kias sesuai dengan satuan konstruksinya, hubungan antara satuan bahasa kias itu dengan unsur lain dalam satuan teksnya, hubungan makna kata-kata yang satu dengan yang lain secara asosiatif, sebaran penggunaan bahasa kias dalam wacana puisi, dan karakteristik penggunaan bahasa kias dalam wacana puisi.
Bahasa kias secara esensial berhubungan dengan perbandingan maupun penghubungan ciri dunia acuan berdasarkan tanggapan terhadap hasil pengamatan suatu realitas secara normal, kedua kesejajaran hubungan secara tetap maupun percampuran ciri dunia acuan secara tetap, ketiga penggarapan medan ciri semantis kata-kata yang pada dasarnya tidak daat diepaskn dari objek yang diacu keempat bahasa kias berhubungan dengan dunia pengalaman maupun konteks sosial budaya.
2.5 Bahasa Kias dalam Puisi Sajak Rajawali Karya W.S Rendra
Salah satu unsur kepuitisan yang lain, untuk mendapatkan kepuitisan ialah bahasa kiasan (figurative language). Menurut Aminuddin (2011:227) kajian retorik memilah figurative language (bahasa figuratif) menjadi dua jenis, yakni (1) figure of thought, yaitu bahasa figuratif yang terkait dengan cara pengolahan dan pembayangan gagasan, dan (2) rhetorical figure, yaitu bahasa figuratif yang  terkait dengan cara penataan dan pengurutan kata-kata dalam konstruksi kalimat. Pemakaian kiasan oleh penyair dalam sebuah puisi pada dasarnya bertujuan agar dapat membantu dan merangsang imajinasi atau daya bayang pembaca untuk melukiskan apa yang sedang dibacanya itu dalam angan-angan sendiri. Adanya bahasa kiasan ini menyebabkan sajak menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan. Bahasa kiasan ini mengiaskan atau menyamakan sesuatu hal dengan hal lain agar gambaran jelas, lebih menarik, dan hidup.
Jenis bahasa kias ada bermacam-macam. Jenis-jenis bahasa kiasan yang termasuk bahasa figuratif tersebut adalah perbandingan (simile), metafora, perumpamaan epos (epic simile), personifikasi, metonimi, sinekdoki (synecdoche), dan allegori. Dari semua jenis tersebut, sebenarnya mempunyai sifat yang umum, yaitu bahasa-bahasa kiasan tersebut mengaitkan sesuatu dengan cara menghubungkannya dengan sesuatu yang lain. Untuk mengetahui penerapan bahasa kias dalam sebuah puisi, berikut dipaparkan contoh puisi karya W.S Rendra  dengan judul “Sajak Rajawali”.
SAJAK RAJAWALI
sebuah sangkar besi
tidak bisa mengubah rajawali
menjadi seekor burung nuri

rajawali adalah pacar langit
dan di dalam sangkar besi
rajawali merasa pasti
bahwa langit akan selalu menanti

langit tanpa rajawali
adalah keluasan dan kebebasan tanpa sukma
tujuh langit, tujuh rajawali
tujuh cakrawala, tujuh pengembara

rajawali terbang tinggi memasuki sepi
memandang dunia
rajawali di sangkar besi
duduk bertapa
mengolah hidupnya

hidup adalah merjan-merjan kemungkinan
yang terjadi dari keringat matahari
tanpa kemantapan hati rajawali
mata kita hanya melihat matamorgana

rajawali terbang tinggi
membela langit dengan setia
dan ia akan mematuk kedua matamu
wahai, kamu, pencemar langit yang durhaka

Secara keseluruhan puisi Sajak Rajawali mempergunakan bahasa kiasan berupa alegori. Alegori adalah metafora dalam bentuk panjang. Puisi ini berisi berisi kata kiasan. Dari awal hingga akhir puisi ini bercerita tentang rajawali. Puisi berisi kiasan bagi orang yang berpandangan luas, berpikiran maju, memiliki keberanian luar biasa, dan seorang pembela kebenaran. Pendeknya, dalam puisi ini diceritakan secara kias seorang pejuang kemerdekaan atau kebebasan.Hal tersebut tercermin dari bait puisi seperti kutipan berikut.
Rajawali terbang tinggi
membela langit dengan setia

Dalam puisi ini terdapat juga bahasa kiasan berupa personifikasi/pengorangan. Hal ini ditunjukkan bait kedua, yaitu “Rajawali adalah pacar langit” dan bait keempat, yaitu Rajawali di sangkar besi/duduk bertapa/mengolah hidupnya. Bahasa kiasan dalam puisi ini dipergunakan untuk menyampaikan ide meraih kebebasan berbuat dan menyampaikan buah pikiran meskipun berisiko masuk penjara (sangkar besi).
Dari judulnya, tampak bahwa penyair cermat dalam memilih kata. Sajak Rajawali, kata pertama dalam judul tersebut diawali bunyi desis /s/ dan diakhiri bunyi tutup /k/. Keduanya merupakan bunyi tidak merdu dan menimbulkan rasa sesak. Kata kedua, rajawali mengandung bunyi merdu /i/. Kombinasi kata-kata itu terasa pas sesuai isi puisi yang membicarakan kebebasan yang bertentangan dengan keterkungkungan.
Kata sajak dalam puisi itu tidak bisa digantikan kata lain sebagai sinonimnya, yaitu puisi. Demikian pula kata rajawali tidak bisa digantikan dengan kata garuda, misalnya. Kata garuda sudah melekat dengan kata lain yang berhubungan dengan negara Indonesia, yaitu Garuda Pancasila. Kata rajawali lebih mewakili isi keseluruhan yang berbicara tentang pentingnya kebebasan seperti: bebas pergi ke mana saja, menentukan pilihan tempat tinggal, menentukan sendiri makanan yang hendak dimakannya, memiliki fisik kuat, mata tajam yang dengan mata itu ia dapat mengetahui luasnya dunia.
Dari awal sampai akhir puisi tersebut, kata-kata terpilih secara cermat dan tepat untuk menimbulkan semangat meraih kebebasan. Hal itu tampak pada penggunaan kata : sangkar besi, rajawali, burung nuri, keringat matahari, kemantapan hati, rajawali, terbang tinggi, membela langit langit,dan sebagainya.

2.6 Penggunaan Bahasa Kias dalam Puisi

Pemahaman bahasa kias dalam wacana puisi merupakan kegiatan pemberian makna pada bentuk, citraan yang ditampilkan, gagasan yang dinuansakan, karakteristik hubungannya dengan unsur lain dalam satuan teksnya, dan kemungkinan efeknya bagi pembaca. Untuk  memperoleh gambaran mengenai bentuk bahasa kias, pembaca perlu membaca puisi secara keseluruhan. Melalui kegiatan membaca, pembaca selain memperoleh gambaran untaian isi puisi diharapkan juga dapat memperoleh gambaran kemungkinan segmentasi bahasa kias sesuai dengan satuan konstruksinya, hubungan antara satuan bahasa kias itu dengan unsur lain dalam satuan teksnya, hubungan makna kata-kata yang satu dengan yang lain secara asosiatif, sebaran penggunaan bahasa kias dalam wacana puisi, dan karakteristik penggunaan bahasa kias dalam wacana puisi. Sebagai berikut terdapat contoh puisi karya W. S Rendra yang menggunakan bahasa kias.

Mata anjing penuh sinar nafsu maling.
Bila malam jahat di langit penuh mata anjing.
Sorot mata penuh duga dan cedera
maksud-maksud dalam kedok dan kata bermakna dua.

Mata anjing muncul di malam tak terelakkan.
Mata anjing menatap dengan rahasia tanpa ungkapan.
Wahai, Gadis yang tak kucinta dan menangis berguling
dalam ciuman kulihat padamu dua sorot mata anjing.

Terjadinya penggantian arti ini karena digunakannya bahasa kiasan di dalam karya sastra. Dalam puisi Mata Anjing karya W.S Rendra ini bahasa kias yang sering muncul adalah metonimi. Adapun metonimiadalah bahasa kias berupa penggunaan sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut.
Penggantian arti dalam puisi ini dapat langsung dilihat pada baris pertama, bait pertama, Mata anjing penuh sinar nafsu maling adalah metonimi yang bermakna seorang laki-laki mata keranjang di dalam sorot matanya sangat terlihat nafsu ingin mencuri (mengambil apa yang tidak seharusnya dia ambil). Mata anjing di sini diumpamakan sebagai sorot mata laki-laki mata keranjang. Bila malam jahat di langit penuh mata anjing, bermakna pada saat tengah malam lebih banyak lagi laki-laki mata keranjang yang muncul di setiap tempat. Malam jahat dan langit juga merupakan metonimi, malam jahat berarti tengah malam karena pada saat tengah malam telah banyak orang yang tertidur sehingga kejahatan lebih banyak terjadi pada saat tengah malam. Adapun langit itu menaungi seluruh dunia dan bermakna luas, sehingga dapat dikatakan meliputi semua tempat. Sorot mata penuh duga dan cedera bermakna orang-orang yang melihat mereka akan dapat menduga dan mengerti bahwa akan mereka akan menorehkan sebuah luka lagi (penderitaan). Maksud-maksud dalam kedok dan kata bermakna dua berarti apa yang dilakukan dan dikatakan oleh para laki-laki mata keranjang tersebut tidak dapat dipercayai.
Bait kedua, Mata anjing mencul di malam tak terelakkan ingin mengungkapkan bahwa kehadiran para laki-laki mata keranjang tersebut idak dapat dihindari ataupun dicegah. Mata anjing menatap dengan rahasia tanpa ungkapan bermakna bahwa kita sudah dapat mengerti apa yang diinginkan para laki-laki tersebut tanpa mereka ungkapkan secara terang-terangan karena keinginan mereka itu terlihat jelas dalam sorot matanya. Wahai, Gadis yang tak kucinta dan menangis berguling dalam ciuman kulihat padamu dua sorot mataanjing, bermakna para gadis-gadis yang bahkan yang tak dikenal, mereka menangis dengan penuh penderitaan dalam dekapan para laki-laki mata keranjang yang hanya ingin memuaskan nafsu mereka. Pada dua baris terakhir ini, pengarang ingin memperingatkan para gadis yanga bahkan tak dikenalnya untuk berhati-hati dan inilah cedera yang dimaksud oleh pengarang pada baris ke tiga bait pertama dia atas.
Penciptaan arti dipengaruhi oleh sajak (rima), enjambemen, dan tipografi. Sajak (rima) adalah persamaan bunyi akhir kata. Bunyi ini berulang secara terpola dan biasanya terdapat di akhir baris saja, tetapi kadang-kadang terletak di awal atau di tengah baris. Enjambemen adalah kata atau frasa atau baris puisi yang berfungsi ganda yakni menghubungkan bagian yang mendahului dengan bagian yang mengikutinya. Artinya, sebuah kelompok kata dipenggal, dan penggalannya dipindah ke baris berikutnya. Tipografi merupakan aspek bentuk visual puisi yang berupa tata hubungan dan tata baris. Tipografi kadang disebut sebagai susunan baris puisi dan ada pula yang menyebutnya sebagai ukiran bentuk. Tipografi dalam puisi dipergunakan untuk mendapatkan bentuk yang menarik supaya indah dipandang oleh pembaca. Adapun dalam puisi Mata Anjing di atas, penciptaan arti yang terjadi adalah sajak (rima) dan enjambemen.
Dalam puisi tersebut, Rendra menggunakan sajak ab-ab. Hal ini selain sebagai keindahan namun juga sebagai penegas kalimat sebelumnya. Kalimat ke dua lebih menegaskan kalimat pertama, kalimat ke empat menegaskan kalimat ke tiga, dan bergitu seterusnya, kalimat genap menjelaskan kalimat ganjil. Hal tersebut dapat digambarkan seperti pada baris pertama dan kedua ini: Mata anjing penuh sinar nafsu maling yang hadir pada malam jahat. Pada bait ke dua baris pertama dan ke dua: Mata anjing muncul di malam tak terelakkan dan menatap dengan rahasia tanpa ungkapan.
Namun, tidak semua pengarang menggunakan ciri khas yang sama seperti pada puisi W.S Rendra. Misalnya pada puisi “Tentang Sebuah Gerakan karya Wiji Tukul sebagai berikut.
Tentang sebuah gerakan
Karya Wiji Thukul

tadinya aku pengin bilang
aku butuh rumah
tapi lantas kuganti
dengan kalimat:
setiap orang butuh tanah
ingat: setiap orang!

aku berpikir tentang
sebuah gerakan
tapi mana mungkin
aku nuntut sendirian?

aku bukan orang suci
yang bisa hidup dari sekepal nasi
dan air sekendi
aku butuh celana dan baju
untuk menutup kemaluanku

aku berpikir tentang gerakan
tapi mana mungkin
kalau diam?

1989

Membaca puisi Wiji Tukul sangat berbeda ketika membaca puisi WS. Rendra. Kata kias yang dipilih Wiji Tukul pun terlihat berbeda dengan kata kias yang dipilih WS. Rendra. Wiji Tukul menggunakan kiasan yang tidak jauh dari makna aslinya, misalnya “gerakan” pada puisi di atas lebih bermakna sebagai perlawanan untu terus maju membela keadilan. Sangat mudah memahami isi puisinya.
Selain bahasa kias, keindahan lainnya adalah bunyi yang muncul pada puisi tersebut. Euphony merupakan salah satu ragam bunyi yang mampu menuansakan suasana keriangan, maupun gerak. Hal ini seleras dengan Sayuti (2008:122) yang mengatakan bahwa efoni adalah “suatu kombinasi vokal konsonan yang berfungsi melancarkan ucapan, mempermudah pemahaman arti dan bertujuan untuk mempercepat irama baris yang mengandungnya”. Pada hal ini bunyi euphony umumnya berupa bunyi-bunyi vokal. 
Pada puisi Wiji Thukul terdapat bunyi eufoni pada bait ketiga yang menggunakan bunyi vokal i dan u.
aku bukan orang suci
yang bisa hidup dari sekepal nasi
dan air sekendi
aku butuh celana dan baju
untuk menutup kemaluanku

Pada bait ini Wiji Thukul ingin menyampaikan rasa kepedulian dan kasih sayangnya pada masyarakat yang kurang mendapat perhatian. Pada bait ini Wiji Thukul menggunakan eufoni karena untuk mempermudah arti dan bertujuan untuk mempercepat irama ketika pembaca memaknai puisinya. Sehingga pesan-pesan yang dituliskan dapat terbaca secara gamblang dan mudah dipahami oleh orang-orang awam.


2.7 Bahasa Kias dalam Prosa Fiksi

Sebuah karya sastra pada hakekatnya merupakan suatu reaksi terhadap suatu keadaan. Sastra merupakan kristalisasi nilai dan pengalaman hidup. Sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan adalah kenyatan budaya (Damono dalam Najid, 2003:9). Dalam kehidupan keseharian pula, pada umumnya orang menyukai sastra. Kata-kata mutiara, ungkapan-ungkapan yang bersifat persuasif yang merupakan salah satu ciri khas keindahan bahasa sastra sering kali digunakan orang dalam situasi berkomunikasi. Bahasa adalah seni sastra yang dapat disamakan dengan cat dalam seni lukis. Keduanya merupakan unsur bahan, alat, sarana, yang diolah untuk dijadikan sebuah karya yang mengandung “nilai lebih” daripada sekedar bahannya itu sendiri. Bahasa merupakan sarana pengungkapan sastra. Sastra, khususnya fiksi, di samping sering disebut dunia dalam kemungkinan, juga dikatakan sebagai dunia dalam kata. Hal ini disebabkan dunia yang menciptakan, dibangun, ditawarkan sekaligus ditafsirkan lewat kata-kata, lewat bahasa.. apapun yang akan dikatakan pengarang atau sebaliknya ditafsirkan oleh pembaca dan harus bersangkut paut dengan bahasa.
Bahasa sebagai sarana mengungkapkan sastra. Di pihak lain sastra lebih dari sekadar bahasa, deretan kata atau kalimat, namun unsur kelebihannya itupun hanya dapat diungkapkan dan ditafsirkan memulai bahasa. Jika sastra dikatakan ingin menyampaikan sesuatu, mendialogkan sesuatu, sesuatu tersebut hanya dapat dikomunikasikan lewat sarana bahasa. Untuk memahami lebih dalam bahasa kias dalam prosa fiksi, berikut terdapat contoh kutipan pada novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman.
            Matahari berpijar di tengah petala langit. (hal 2)
Pada penggalan kutipan tersebut terdapat ungkapan petala langit  yang berarti tingkatan langit yang paling tinggi sehingga kedudukan matahari disamakan dengan petala langit yang tingkatnya tinggi dan jauh. Penggalan teks tersebut bergaya bahasa metafora. Gaya bahasa metafora adalah gaya  bahasa yang membandingkan dua hal secara langsung yang memiliki sifat yang sama, tetapi dalam bentuk singkat. Dalam novel AAC  ditemukan penggalan teks yang berisi kalimat bergaya bahasa perumpaman. Berikut penggalan  teks yang berisi kalimat bergaya bahasa perumpamaan atau simile.
Tengah  hari   ini Kota Cairo seakan membara  (hal 2).

Dalam penggalan teks tersebut terdapat gaya bahasa  perumpamaan atau simile. Hal ini ditandai dengan adanya kata hubung seakan.  Kata seakan  adalah ciri dari gaya bahasa ini.




DAFTAR RUJUKAN


Aminuddin. 1995. Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang: IKIP Semarang Press.
Aminuddin. 2011. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Badrun, Ahmad. 1989. Teori Puisi. Jakarta : Departeen Pendidikan dan Kebudayaan.
Dimas, Mihardja. 2011. Bahasa Kias dalam Puisi. [online]. http://tamanpendidikandimasar. blogspot.com/2011/02/bahasa-kias-dalam-puisi.html. Diakses Pada 31 Maret 2015.
Najid, Moh & Damono. 2003. Mengenal Apresiasi Prosa Fiksi. Surabaya: Unversity Press.
Sayuti. 2008. Berkenalan dengan Puisi. Yogyakarta: Gama Media.
Sudjiman, Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti.

1 komentar: