![]() |
|
PENDEKATAN
PARAFRASTIS DAN DIDAKTIS
PADA PUISI W.S RENDRA
|
Memenuhi tugas UAS matakuliah Apresiasi Puisi
yang diampu oleh
Maulfi Syaiful Rizal, M.Pd.
Oleh:
Yulina Dwi Lestari 1251107001110045
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
Juni, 2014
Karya
puisi W.S Rendra sangat melekat bagi para pencinta sastra. Puisi-puisi W.S. Rendra mempunyai ciri khas sendiri
yang berbeda dengan karya penyair-penyair yang lain. Hal itu dapat dilihat pada
penggunaan gaya bahasanya. Pemilihan kata dalam puisi-puisi dalam karya WS.
Rendra merupakan hal yang penting. WS Rendra dalam puisinya cenderung memakai
kata-kata yang bermakna polos, denotatif tetapi bermakna padat dan tepat.
Puisi-puisi dari WS Rendra
kaya akan penggunaan citraan atau gambaran angan yang timbul setelah membaca
karyanya. Karya Puisi WS Rendra ingin membuat pembacanya berimajinasi dengan
berupa citra-citra yang dapat dilihat dan seolah-olah dapat dirasakan.
Beberapa
sajak yang diciptakan oleh WS Rendra menggambarkan bagaimana hidup seorang anak
muda seperti mahasiswa ataupun seorang yang taman SMA, puisi WS Rendra yang
pertama adalah tentang mahasiwa yaitu Sajak Tangan, dan selanjutnya tentang aak
muda yang tamat SMA yaitu Sajak Seonggok Jagung. Kedua sajak ini menurut saya
sagat menarik untuk dianalisis karnena gaya bahasanya dan makan yang terkandung
didalamnya kedua puisi ini akan coba saya analisis dengan dua pendekatan yang
berbeda yaitu parafrastis dan didaktis.
A.
Analisis
Pendekatan Parafrastis pada Puisi Sajak
Tangan Karya W.S Rendra
Puisi
Sajak Tangan ini akan dianalisis dengan pendekatan parafrastis untuk lebih
mengetahui maknanya secara sederhana. Pendekatan
Parafrastis ini berangkat dari sebuah asumsi bahwa kata-kata dalam puisi pada
umumnya padat dan sering mengalami elipsis/penghilangan. Menurut Aminuddin
(2010:41), Pendekatan Parafrasis adalah strategi pemahaman kandungan makna
dalam satuan cita sastra dengan jalan mengungkapkan kembali gagasan yang disampaikan
pengarang dengan menggunakan kata-kata maupun kalimat yang berbeda dengan
kata-kata dan kalimat yang digunakan pengarangnya. Tujuan akhir dari penggunaan
parafrasis itu adalah untuk menyederhanakan pemakaian kata atau kalimat seorang
pengarang, sehingga pembaca lebih mudah memahami kandungan makna yang terdapat
dalam suatu cipta sastra. Analisis puisi Sajak Tanga karya WS Rendra ini akan
dianalisis dengan pendekatan parafrastis bebas. Parafrasa bebas
adalah mengubah puisi menjadi prosa dengan kata-kata sendiri. Kata-kata yang
terdapat dalam puisi dapat digunakan, dapat pula tidak digunakan.
Sajak Tangan
inilah tangan
seorang mahasiswa,
tingkat sarjana muda.
Tanganku. Astaga.
Tanganku menggapai,
yang terpegang anderox hostes berumbai,
Aku bego. Tanganku lunglai.
Tanganku mengetuk pintu,
tak ada jawaban.
Aku tendang pintu,
pintu terbuka.
Di balik pintu ada lagi pintu.
Dan selalu :
ada tulisan jam bicara
yang singkat batasnya.
Aku masukkan tangan-tanganku ke celana
dan aku keluar mengembara.
Aku ditelan Indonesia Raya.
Tangan di dalam kehidupan
muncul di depanku.
Tanganku aku sodorkan.
Nampak asing di antara tangan beribu.
Aku bimbang akan masa depanku.
Tangan petani yang berlumpur,
tangan nelayan yang bergaram,
aku jabat dalam tanganku.
Tangan mereka penuh pergulatan
Tangan-tangan yang menghasilkan.
Tanganku yang gamang
tidak memecahkan persoalan.
Tangan cukong,
tangan pejabat,
gemuk, luwes, dan sangat kuat.
Tanganku yang gamang dicurigai,
disikat.
Tanganku mengepal.
Ketika terbuka menjadi cakar.
Aku meraih ke arah delapan penjuru.
Di setiap meja kantor
bercokol tentara atau orang tua.
Di desa-desa
para petani hanya buruh tuan tanah.
Di pantai-pantai
para nelayan tidak punya kapal.
Perdagangan berjalan tanpa swadaya.
Politik hanya mengabdi pada cuaca…..
Tanganku mengepal.
Tetapi tembok batu didepanku.
Hidupku tanpa masa depan.
Kini aku kantongi tanganku.
Aku berjalan mengembara.
Aku akan menulis kata-kata kotor
di meja rektor
TIM, 3 Juli 1977
tingkat sarjana muda.
Tanganku. Astaga.
Tanganku menggapai,
yang terpegang anderox hostes berumbai,
Aku bego. Tanganku lunglai.
Tanganku mengetuk pintu,
tak ada jawaban.
Aku tendang pintu,
pintu terbuka.
Di balik pintu ada lagi pintu.
Dan selalu :
ada tulisan jam bicara
yang singkat batasnya.
Aku masukkan tangan-tanganku ke celana
dan aku keluar mengembara.
Aku ditelan Indonesia Raya.
Tangan di dalam kehidupan
muncul di depanku.
Tanganku aku sodorkan.
Nampak asing di antara tangan beribu.
Aku bimbang akan masa depanku.
Tangan petani yang berlumpur,
tangan nelayan yang bergaram,
aku jabat dalam tanganku.
Tangan mereka penuh pergulatan
Tangan-tangan yang menghasilkan.
Tanganku yang gamang
tidak memecahkan persoalan.
Tangan cukong,
tangan pejabat,
gemuk, luwes, dan sangat kuat.
Tanganku yang gamang dicurigai,
disikat.
Tanganku mengepal.
Ketika terbuka menjadi cakar.
Aku meraih ke arah delapan penjuru.
Di setiap meja kantor
bercokol tentara atau orang tua.
Di desa-desa
para petani hanya buruh tuan tanah.
Di pantai-pantai
para nelayan tidak punya kapal.
Perdagangan berjalan tanpa swadaya.
Politik hanya mengabdi pada cuaca…..
Tanganku mengepal.
Tetapi tembok batu didepanku.
Hidupku tanpa masa depan.
Kini aku kantongi tanganku.
Aku berjalan mengembara.
Aku akan menulis kata-kata kotor
di meja rektor
TIM, 3 Juli 1977
Puisi
sajak tangan ini diciptakan dari suatu kejadian pada tahun 1977 ketika sekitar
tahun itu terdapat demo mahasiswa besar-besaran. Puisi ini diciptakan di Taman
Ismail Marzuki dimana tempat itu adalah tempat untuk bertemunya para sastrawan
ataupun pujang-pujangga yang ingin menciptakan karya sastra seperti WS Rendra.
Selain puisi sajak tagan puisi WS Rendra lainnya yang diciptakan di Taman
Ismail Marzuku yang biasa disingkat (TIM) adalah Sajak Seonggok jagung. Telah
dijelaskan sebelumnya bahwa analisi puisi sajak tangan ini akan menggunakan
pendekatan parafrastis. Berikut ini parafraastis sajak seonggok jagung.
inilah tangan
seorang mahasiswa,
tingkat sarjana muda.
Tanganku. Astaga
tingkat sarjana muda.
Tanganku. Astaga
(Sajak Tangan
Bait ke-1)
Parafrase
bebas dari bait pertama adalah Lihatlah inilah tangan milik seorang mahasiwa
tingkat sarjana musa, astaga ternyata ini tanganku. Pada bait ini pengarang
inin menggambarkan saat dia melihat tanggannya sendiri yang ternyata dia adalah
mahasiswa sarjana tingkat muda.
Tanganku
menggapai,
yang terpegang anderox hostes berumbai,
Aku bego. Tanganku lunglai.
yang terpegang anderox hostes berumbai,
Aku bego. Tanganku lunglai.
(Sajak Tangan
Bait ke-2)
Parafrase
selanjutnya adalah bait ke-2 Sajak tangan yaitu
Tanggan ku ini mencoba menggapai ternyata malah aku memegang anderox
hostes berumbai, begonya aku. Tanganku seketika menjadi lunglai lemas tak
beradaya. Dalam bait ini ada kata yang mungkin sedikit awam kita dengar yaitu
anderox hostes berumbai, berdasarkan katanya anderox itu adalah sebuh rok
dalaman seorang wanita, sedangkan hostess adalah wanita yg pekerjaannya
menerima, menjamu, dan menghibur tamu (di hotel, kelab malam, bar, dsb). Jadi
anderox hostess berumbai adalah sebuah rok dalam wanita penghibur yang
berumbai-umbai modelnya. Jadi maka dalam bait ini adalah ketika tangan mahasiwa
tersebut mencoba menggapai sesuatu yang ia inginkan justru dia memegang anderox
berumbai milik wanita pengibur, lalu kata bego pun muncul karena bait
sebelumnya yang menunjukan kebodohan seorang mahasiswa yang memegang anderox
seorang wanita penghibur. Seketika tangannya pun menjadi lunglai lemas dan tak
beradaya.
Tanganku mengetuk
pintu,
tak ada jawaban.
Aku tendang pintu,
pintu terbuka.
Di balik pintu ada lagi pintu.
Dan selalu :
ada tulisan jam bicara
yang singkat batasnya.
tak ada jawaban.
Aku tendang pintu,
pintu terbuka.
Di balik pintu ada lagi pintu.
Dan selalu :
ada tulisan jam bicara
yang singkat batasnya.
(Sajak Tangan
Bait ke-3)
Parafrase
bebas dari bait ke-3 adalah ketika tanganku mengentuk pintu hasilnya nihil, tak ada jawaban darinya.
Ketika aku memberontak dan menedang pintu mereka akhirnya pintunya pun terbuka
namun setelah pintu itu terbuka masih ada pintu lagi dibaliknya, setelah
bertemu namun tetapsaja akan ada jam waktu yang membatasi yang terpampang
didepan pintu mereka.
Makna
dari bait ke-3 puisi Sajak Tangan ini adalah ketika seseorang mahasiswa yang
ingin berbicara dengan petinggi kampus (dekan, rektor,dsb) selalu saja tidak
ada tanggapan dari mereka, mahasiswa itu pun berontak karena keinginannya untuk
mengungkapakan aspirasinya namun ketika dia berhasil dengan usaha berontaknya
dia akan selalu menemui orang yang menghalinginya bertemu dengan petinngi
kampus kita sebut sajalah rektor. Sering kita jumpai masalah dalam kamus bila
seorang mahasiswa atau aktivis mahasiswa yang ingin bertemu rektornya untuk
menyampaikan aspirasinya maka dia akan menemui dulu bagian akademik, lalu
setelah itu dia harus meminta persetujua dekan, setelah itu dia harus melobby
bagian rektoran, barulah ia bisa menemui rektor tersebut. Orang-orang atau
bagian dari sistem untuk bertemu rektor inilah yang diibaratkan dengan pintu,
stelah ada pintu maka akan ada pintu lagi. Namun usahanya pasti akan sia-sia
karena saat bertemu dengan rektor atau petinggi kampuspun kan ada jam atau
batasan waktu dalam bicara.
Aku masukkan
tangan-tanganku ke celana
dan aku keluar mengembara.
Aku ditelan Indonesia Raya.
dan aku keluar mengembara.
Aku ditelan Indonesia Raya.
(
Sajak Tangan Bait ke-4)
parafrase dari bait ke-4 adalah aku mencoba tenang dengan memasukan tanganku-tanganku ke saku celana, lalu akupun keluar dari tempat itu lalu pergi keseluruh penjuru Indonesia. makna dari bait ke-4 adalah saat dia sudah bertemu dengan petinggi kampusnya dan dibatasi dengan waktu bicara yang singkat dia mencoba tenang dengan menahan segala emosinya dengan memasuka tangan-tangannya kealam celana, lalu dia pergi dan diapun mengembara dengan mengamati Indonesia dengan meilhat sekitarnya. Dengan melihat fenomena yang terjadi disekitanya yang ada dalam negara Indonesia maka dia merasa tertelan oleh Indonesia Rayanya sendiri.
Tangan di dalam
kehidupan
muncul di depanku.
Tanganku aku sodorkan.
Nampak asing di antara tangan beribu.
Aku bimbang akan masa depanku.
muncul di depanku.
Tanganku aku sodorkan.
Nampak asing di antara tangan beribu.
Aku bimbang akan masa depanku.
( Sajak Tangan Bait ke-5)
Parafrase
dari sajak tangan bait ke-5 adalah
tangan di dalam sbuah kehidupan muncul di depanku lalu kusodorkan tangan
mahasiswa ku ini, namun nampak asing diantara tangan-tangan yang lain, sehingga
aku merasa bimbang dengan masa depanku sendiri. Makan dari bait ke-5 ini adalah
ketika pandangan hidup atau kenyataaan
hidup diletakan ditunjukan padaku (penyair), dan penyair menaruh dirinya
diantara manusia lain dalam kehidupan dia merasa aneh merasa asing, dan merasa
berbeda diantara banyak orang lainnya, sehingga sang penyair bimbang pada masa
depannya sendiri nantinya.
Tangan petani yang berlumpur,
tangan nelayan yang bergaram,
aku jabat dalam tanganku.
Tangan mereka penuh pergulatan
Tangan-tangan yang menghasilkan.
Tanganku yang gamang
tidak memecahkan persoalan.
( Sajak Tangan Bait ke-6)
Parafrase
Sajak Tangan Bait ke-6 adalah tangan-tangan petani yang berlumpur,
tangan-tangan nelayan yang bergaram karena air laut, dan ketika aku berasalaman
dengan tangan ku yang kurasakan tangan mereka sangat penuh dengan pergulatan
yang menghasilkan seseutu untuk hidupnya sedangkan tanganku yang gamang dan tak
tentu ini tidak bisa berbuat apa-apa bahakan hanya untuk memecakan sebuah
masalah. Maksud dari sajak tangan bait
ke-6 ini adalah ketika mahasisw aitu berjabatan tagan dengan tangan seorang
petani dan nelayan terasa bahwa tangan-tangan para petani dan nelayan itu
sangat penuh perjuangan dalam hidup, tangan-tangan yang sangat menghasilkan.
Tangan disini diabaratkan untuk melihat bagaimana karakter atau kehidupan
seseorang biasanya tangan seseorang yang bekerja keras seperti nelayan dan
petani makan tangannya akan kasar, dan itu menunjukan bahwa mereka bekerja keras.
Ketika mahasiswa tersebut (penyaiir) berjabatan tangan dengan nelayan dan
petani itu dia merasa tangannya gamang dan hidupnya juga tak menghasilkan
apapun, bahkan untuk memecahkan masalah saja tidak bisa.
Tangan cukong,
tangan pejabat,
gemuk, luwes, dan sangat kuat.
Tanganku yang gamang dicurigai,
disikat.
(Sajak Tangan Bait ke-7)
tangan pejabat,
gemuk, luwes, dan sangat kuat.
Tanganku yang gamang dicurigai,
disikat.
(Sajak Tangan Bait ke-7)
Parafrase
dari Sajak Tangan Bait ke-7 adalah tangan para cukong dan pejabat yang gemuk
luwes dan sangat erat dalam berjabatan. Ketika tanganku yang gamang dijabatnya
dengan erat maka mereka mencurigaiku dan akupun disikat habis oleh mereka.
Makan pada sajak taga bait ke-7 adalah hampir sama dengan bait ke-6 tangan
disini digunkan untuk menggambarkan sifat atau kehidupan seseorang. Pada bait
ke-7 digambarkan tangan pejabat dan para cukong yang luwes, lembut, gemuk, dan
sangat kuat cengkramannya, hal ini menujkan bahwa tangan-tangan seperti itu
hanya memanfaatkan orang kecil dibawahnya untuk kehidupannya. Ketika mahasiswa
tersebut (penyair) berjabat tangan dengan para cukong dan pejabat dengan
tangannya yang gamang, jelas mahasiswa itu langsung dicurigai.
Tanganku mengepal.
Ketika terbuka menjadi cakar.
Aku meraih ke arah delapan penjuru.
Di setiap meja kantor
bercokol tentara atau orang tua.
Di desa-desa
para petani hanya buruh tuan tanah.
(Sajak Tangan
Bait ke-8)
Parafrase
dari Sajak Tangan Bait ke-8 adalah tanganku yang mengepal ini terbuka dan
berubah seolah-olah menjadi cakar aku mencoba meraih di kedelapan arah mata
angin, di setiap meja kantor hanya ada orang tua atau seorang tentara yang
berjaga, dan di desa kulihat petani-petani hidup hanya sebagai buruh tuan tanah
yang serakah.
Di pantai-pantai
para nelayan tidak punya kapal.
Perdagangan berjalan tanpa swadaya.
Politik hanya mengabdi pada cuaca…..
Tanganku mengepal.
Tetapi tembok batu didepanku.
Hidupku tanpa masa depan.
para nelayan tidak punya kapal.
Perdagangan berjalan tanpa swadaya.
Politik hanya mengabdi pada cuaca…..
Tanganku mengepal.
Tetapi tembok batu didepanku.
Hidupku tanpa masa depan.
(Sajak Tangan Bait ke-9)
Parafrase
dari Sajak Tangan Bait ke-9 adalah dipantai-pantai kulihat para nelayan tak
punya kapal perdagan berjalan terus
tanpa swadaya para nelayan , politik pedangan itu hanya patuh terhadap
cuaca saja. Tangan ku mulai mengepal lagi tetapi tembok batu menghadangku
didepan sanaa, masa depanku tertutup oleh tembok itu.
Kini aku kantongi tanganku.
Aku berjalan mengembara.
Aku akan menulis kata-kata kotor
di meja rektor
(Sajak Tangan Bait ke-10)
Parafrase
dari Sajak Tangan Bait ke-10 adalah saat ini aku masukan lagi tanganku kesaku
celanaku, aku berjalan mengembara tapi diluar sana akan aku tulis kat-kata
kotor yang nantinya aku taruh dimeja rektor. Pada bait ke-10 peyair mencoba
menekan emosinya dengan bejalan-jalan disekitar namun saat itu juga dia lupakan
dengan menulis kat-kata kotor yang nantinya akan dia taruh diatas meja rektor.
B.
Analisis Pendekatan Didaktis pada Puisi Sajak Seonggok
Jagung Karya W.S Rendra
Pendekatan didaktis adalah pendekatan
apresiasi karya sastra dengan cara memahami gagasan, tanggapan evaluatif dan
sikap pengarang terhadap kehidupan (Aminudin, 2011:47) Dalam penerapannya, pendekatan didaktis
menuntut daya kemampuan intelektual, kepekaan rasa, maupun sikap yang mapan
dari pembacanya. Penggunaan pendekatan ini diawali dengan upaya pemahaman
satuan-satuan pokok pikiran yang terdapat dalam suatu cipta sastra. Satuan
pokok pikiran itu pada dasarnya disarikan dari paparan gagasan pengarang.
Bagi
pembaca pada umumnya, penerapan pendekatan didaktis dalam tingkatan pemilihan
bahan yang sesuai dengan pengetahuan maupun tingkatan kematangannya akan terasa
lebih mengasyikkan. Hal ini terjadi karena pembaca umumnya berusaha mencari
petunjuk dan keteladanan lewat teks yang dibaca. Pendekatan
didaktis ini akan coba diterapkan pada Sajak Seonggok Jagung Karya W.S Rendra,
keseluruhan puisinya yang menarik dan juga jalan puisnya yang seperti narasi
membuat puisi ini menarik dikaji. Puisi Sajak Seonggok Jagung ini secara
keseluruha adalah tentang kritikkan untuk para anak tamat sekolah yang mungkin
tidak bisa bekerja dan kembali ke desanya menjadi pengangguran.
SAJAK
SEONGGOK JAGUNG
Oleh :W.S. Rendra
Oleh :W.S. Rendra
Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda
yang kurang sekolahan.
dan seorang pemuda
yang kurang sekolahan.
Memandang jagung itu,
sang pemuda melihat ladang;
ia melihat petani;
ia melihat panen;
dan suatu hari subuh,
para wanita dengan gendongan
pergi ke pasar ………..
Dan ia juga melihat
suatu pagi hari
di dekat sumur
gadis-gadis bercanda
sambil menumbuk jagung
menjadi maisena.
Sedang di dalam dapur
tungku-tungku menyala.
Di dalam udara murni
tercium kuwe jagung
sang pemuda melihat ladang;
ia melihat petani;
ia melihat panen;
dan suatu hari subuh,
para wanita dengan gendongan
pergi ke pasar ………..
Dan ia juga melihat
suatu pagi hari
di dekat sumur
gadis-gadis bercanda
sambil menumbuk jagung
menjadi maisena.
Sedang di dalam dapur
tungku-tungku menyala.
Di dalam udara murni
tercium kuwe jagung
Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda.
Ia siap menggarap jagung
Ia melihat kemungkinan
otak dan tangan
siap bek erja
dan seorang pemuda.
Ia siap menggarap jagung
Ia melihat kemungkinan
otak dan tangan
siap bek erja
Tetapi ini :
Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda tamat SLA
Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.
Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.
dan seorang pemuda tamat SLA
Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.
Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.
Ia memandang jagung itu
dan ia melihat dirinya terlunta-lunta .
Ia melihat dirinya ditendang dari diskotik.
Ia melihat sepasang sepatu kenes di balik etalase.
Ia melihat saingannya naik sepeda motor.
Ia melihat nomor-nomor lotre.
Ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal.
Seonggok jagung di kamar
tidak menyangkut pada akal,
tidak akan menolongnya.
dan ia melihat dirinya terlunta-lunta .
Ia melihat dirinya ditendang dari diskotik.
Ia melihat sepasang sepatu kenes di balik etalase.
Ia melihat saingannya naik sepeda motor.
Ia melihat nomor-nomor lotre.
Ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal.
Seonggok jagung di kamar
tidak menyangkut pada akal,
tidak akan menolongnya.
Seonggok jagung di kamar
tak akan menolong seorang pemuda
yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
dan tidak dari kehidupan.
Yang tidak terlatih dalam metode,
dan hanya penuh hafalan kesimpulan,
yang hanya terlatih sebagai pemakai,
tetapi kurang latihan bebas berkarya.
Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.
tak akan menolong seorang pemuda
yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
dan tidak dari kehidupan.
Yang tidak terlatih dalam metode,
dan hanya penuh hafalan kesimpulan,
yang hanya terlatih sebagai pemakai,
tetapi kurang latihan bebas berkarya.
Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.
Aku bertanya :
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
di tengah kenyataan persoalannya ?
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya ?
Apakah gunanya seseorang
belajat filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,
atau apa saja,
bila pada akhirnya,
ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata :
“ Di sini aku merasa asing dan sepi !”
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
di tengah kenyataan persoalannya ?
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya ?
Apakah gunanya seseorang
belajat filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,
atau apa saja,
bila pada akhirnya,
ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata :
“ Di sini aku merasa asing dan sepi !”
Tim, 12 Juli 1975
Potret Pembangunan dalam Puisi
Potret Pembangunan dalam Puisi
Puisi
ini bisa dikatakan sebagai kritik pendidikan pada masa sekarang, ini terlihat pada penggalan puisi Sajak
Seonggok Jagung sebagai berikut
Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda tamat SLA
Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.
Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.
dan seorang pemuda tamat SLA
Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.
Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.
Ia memandang jagung itu
dan ia melihat dirinya terlunta-lunta .
dan ia melihat dirinya terlunta-lunta .
(Sajak Seonggok Jagung Bait ke-27
sampai bait ke-33)
Makna
didaktis dari puisi tersebut adalah seorang siswa tamat SLA yang hanya
terkatung-katung tampa bisa berbuat seseutu dengan seonggok jagung di kamarnya.
Inti
dari petikan puisi “Sajak Seonggok Jagung,” tidak hanya bicara soal kemiskinan
itu sendiri pada satu sisi, tetapi pada sisi lainnya bicara juga soal gagalnya
pendidikan, yang menyebabkan macetnya daya kreativitas di dalam diri seseorang
– karena keberhasilan selalu diandaikan dengan lulus dari perguruan tinggi.
Padahal pada kenyataannya di dalam kehidupan sehari-hari, banyak yang lulus
dari perguruan tinggi tidak bisa mendapat pekerjaan, dan malah jadi parasit
bagi lingkungan hidupnya. Inilah yang dikritik Rendra.
Lebih
jauhnya, puisi yang ditulis oleh Rendra itu hendak berbicara bahwa seorang
pemuda dengan seoonggok jagung di kamar itu sesungguhnya bisa hidup jika ia
kreatif, yakni dengan cara mengolah jagung itu sendiri. Jagung dalam puisi
tersebut adalah serupa simbol, atau metafora, atau apa pun, yang bisa diolah,
yang bisa dijadikan bahan sebagai sumber penghidupan.
Seonggok jagung di kamar
tak akan menolong seorang pemuda
yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
dan tidak dari kehidupan.
tak akan menolong seorang pemuda
yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
dan tidak dari kehidupan.
(Sajak Seonggok Jagung bait ke-42
sampai bait ke- 45)
Dari bait
tersebut jelas tergambar bahwa nilai didaktis yang bisa kita ambil langsung
tersurat dalam puisi tersebut yaitu pandangan hidup atau bekal hidup bukan
hanya dari buku tapi juga dari kehidupan sebenarnya yang terjati. Inti dari
bait ini adalah ketika seorang siswa yang tamat sekolah dan hanya bisa memahami
kehidupan berdasarkan teori tapi buka secara praktik langsungnya maka dia kan
gagal dalam kehidupannya. Dalam sebuah hidup bukan hanya pendidika saja yag
perlu kita utamakan tapi bagaimana rasa sosial kita terhadap sesama, terhadap
kehidupan sekitar , bila kita bisa beradaptasi dengan kehidupan sekitar maka
kehidupan ini akan lebih muda dan terbantu.
Aku bertanya :
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
di tengah kenyataan persoalannya ?
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya ?
Apakah gunanya seseorang
belajat filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,
atau apa saja,
bila pada akhirnya,
ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata :
“ Di sini aku merasa asing dan sepi !”
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
di tengah kenyataan persoalannya ?
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya ?
Apakah gunanya seseorang
belajat filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,
atau apa saja,
bila pada akhirnya,
ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata :
“ Di sini aku merasa asing dan sepi !”
(Sajak Seonggok Jagung Bait ke- 51
sampai ke-64)
Dalam puisi tersebut tertulis “apagunanya pendidikan bila hanya mendorong
seseorang kektoa menjadi layang-layang di Ibu Kota” penyair menuliskan ini
karena seorang pemuda dari desa yang jauh -jauh dari desa untuk mencari ilmu
namun, karena ilmu tersebut dia menjadi
kuper atau kurang pergaulan, seta menjadi suatu pajangan yang hanya terombang
ambing ditengah ibu kota. Ilmu sejati adalah imu yang bermanfaat untuk
kehidupan kita di dunia luar, yaitu dunia kerja dan dunia bermasyarakat.
Rasa keterasingan muncul adari seorang pemuda itu karena dulunya yang saat
dia dikota dan hanya memikirkan tentang ilmu pelajarannya saja seperti IPA,IPS,
Filsafat atau apalah. Namun segala ilmu itu tidak akan ada artinya bila tidak
ada hubungannya dengan kehidupan kita nantinya. Pendidikan memang nomer satu
yang penting untuk ditempuh namun alangkah baiknya jika pendidikan itu bukan
hanya pendidikan secara formal seperti pelajaran namun juga pendidikan secara
non formal yang diselipakan pada sekolah tersebut. Pendidikan non formal ini
bisa berupa pelatihan tataboga, pramuka, pmi, atau sebgainya yang menimbuhka
jiwa sosial tinggi dan juga kreatifitas tinggi.
Dalam sajak Sajak Seonggok Jagung mengaskan bahwa
pendidikan kita tak mampu memberikan apa-apa. Pendidikan kita hanya membuat
siswa/mahasiswa terasing dan tercerabut dari kehidupan. Pendidikan hanya
menambah pengangguran di Ibukota, dan dengan bahasa yang amat liris Rendra
menyindir para mahasiswa yang setelah lulus malah merasa asing dan sepi ketika
telah pulang ke daerahnya. Pertanyaan-pertanyaan yang sekaligus penegasan
realitas tersebut adalah problem pendidikan nasional yang sulit terpecahkan.
Keterasingan hasil
pendidikan terhadap masyarakat diakibatkan oleh tidak ilmiahnya kurikulum
yang diberikan. Istilah ilmiah menandakan bahwa pendidikan harus bisa
dibuktikan kebenarannya. Ia harus direlevansikan atau berkaitan langsung dengan kebutuhan dan
realitas masyarakat.

bagus ini bisa jadi pandangan untuk kita para pelajar indonesia kedepannya
BalasHapusAssalamualaikum, ,
BalasHapusSy mau taanya apa saja shee, ,,
Untuk bisa mengetahui, ,
Mencari pemahaman nila nila kehidupan puisi, ,